« Home | Perempuan yang Kencing di Semak » | Selembar Bulu Mata Elena » | Peluru-Peluru » | Cari Aku di Canti » | Bulan Gendut di Tepi Gangsal » | Kering » | Perca » | Kembang Sri Gading » | La Runduma »

Corfivollus

Cerpen Wa Ode Wulan Ratna

Kakek itu menemukan gadis itu menyiratkan senyuman penuh luka. Ia membuang wajahnya yang segar itu keluar jendela. Memperhatikan setiap pepohonan yang mulai berderet jarang-jarang di sepanjang jalan dan mobil-mobil yang berlainan arah. Wajahnya seperti perdu ditumpahi hujan yang berkepanjangan dan dimekarkan oleh bunga-bunga berwarna kuning sekuning baju yang ia kenakan. Begitu dingin dan beku. Namun wajah segar putih yang memantul kekuningan itu adalah wajah yang serupa dengan suasana siang itu. Siang yang mendung dengan langit keabuan membentang tanpa jeda. Sesekali sang kakek melihat gadis itu menelan ludah saat tatapan mereka bertemu. Kakek itu tahu, gadis kuning itu menyukai bunga-bunga yang dipegangnya.

***

Minggu pagi adalah berlari baginya. Berlari ke tempat yang jauh. Dan ia tak perlu ke gereja. Ketika ia membuka jendela dan pintu rumah, tanpa menyeruput jeruk hangat yang telah disediakan bibinya, ia telah melihat pagi yang suram. Gerimis tengah turun.

"Sudahlah. Dua sakramen1 itu tak bisa ditolak!" Ia diam mendengar ucapan bibinya. Matanya tak lepas dari uap jeruk hangat dalam gelas yang mengepul dan coba menghangatkan suasana.

"Pergilah mandi, banyak yang menunggumu. Pakailah baju dengan warna sedikit cerah agar kamu kelihatan lebih berseri. Dan berdoalah di gereja." Tapi ia kemudian berlari ke arah pintu. Wajahnya dihembusi angin yang dingin. Wajahnya yang putih itu bertambah putih dan rambutnya yang sebahu mengibar. Ia menatap jemuran seprai tetangga yang tidak diangkat padahal gerimis sedang jatuh. Lalu ia memperhatikan bunga-bunga perdu berwarna kuning yang mulai kedinginan. Ia tahu bunga-bunga itu merindukan belaian.

"Diane?" perempuan separuh baya itu memanggil.

"Andaikata ayah dapat mengulangi hidupnya, tentu ia akan lebih banyak memetik bunga aster untukku hari ini."

***

Ia tidak berdandan seperti hari minggu biasanya. Ia hanya mengenakan baju princess kuning berbahu lebar dengan rok lebar sebetis berwarna putih polos dan sepatu bertali warna putih mutiara. Rambutnya yang sebahu dikuncir ekor kuda. Tak ada perhiasan sedikit pun melekat pada tubuhnya. Hanya Injil yang ia bawa. Begitu pula keadaan hari ini, tak ada tangkai-tangkai kembang baru di kamarnya. Semua layu seperti hatinya dan ia tak bisa menyalurkan perasaannya itu pada semua bentuk yang bernyawa kecuali pada hujan yang mulai menderas. Kemudian ia mendengar bibinya memanggil lagi dari bawah. Dan tanpa menutup jendela ia mengamit Injil lalu segera turun.

Sepupu laki-lakinya, Adam, dengan setelan jas hitam membuka payung berwarna hitam, merangkulnya dan membawanya ke sebuah mobil sedan hitam. Ia melihat payung hitam itu seperti berputar-putar atau mungkin sengaja diputar-putar oleh sepupunya. Kemudian ia masuk ke dalam mobil yang membawanya pada panjang perjalanan dengan pohon-pohon cemara yang berderet rapat dan tinggi. Pohon-pohon itu menutup kelapangan angkasa dan sejumlah pemandangan berkabut yang menutupi gunung-gunung, rumah-rumah, jalan-jalan, dan segala yang hijau. Tak ada suara yang keluar selain deru mobil yang halus dan meluncur lancar di tengah hujan. Di belakang, beberapa mobil serupa yang ditumpangi kakak-kakaknya membuntuti mobil yang membawanya.

"Hanya kau yang kuning, An." Ia mendengar Adam berbicara padanya dan pamannya yang duduk bersama supir mendehem. Adam memangku mantel cokelatnya. Pemuda itu tahu kapan ia mesti berkata-kata dan ia tidak mau mengganggu perasaan gadis itu.

"Ya, ibu tidak datang?" katanya kemudian.

"Ah dia, bukan ibumu, An. Nanti siang dia datang dengan anak angkatnya yang mau menikah itu." Gadis itu diam lagi. Ia tahu siang nanti Isak akan menikah di gereja yang sama. Satu hari yang aneh. Sementara ia berduka dan seorang perempuan yang pernah menjadi ibu tirinya berbahagia pada satu gereja yang sama.

"Aku hanya memakai baju hitam bila Koor." Katanya lagi pada Adam.

"Dia hanya ingin agar tidak terlihat pucat, Dam."

***

Ia berdiri pada barisan terdepan, menatap kosong pada sebuah peti yang belum di tutup. Wajah pucat namun tak menghilangkan wibawa seorang laki-laki tua yang tidur di dalamnya. Ia tahu ayahnya pergi meninggalkan bunga-bunga, meninggalkannya.

Ia tidak bernyanyi. Ia tidak berdoa. Tidak pula mendengarkan nubuatan-nubuatan2 dari alkitab perjanjian baru. Ia tidak menyilangkan tangan sebagai layaknya seorang Kristen sejati. Ia tidak mendengarkan kata-kata pendeta. Ia tidak membuka Injilnya. Ia hanya berdiri seperti semua orang berkabung yang berdiri di dalam tempat suci itu. Ia tahu, rambutnya yang dipotong pendek sebahu itu membuat ia terlihat seperti seorang gadis tanggung atau seperti tampang bidadari yang terpampang pada jendela gereja, begitu tragis dan tenang. Ia layaknya gadis kecil jemaat Antiokhia3 yang begitu lugu. Namun ia pun tahu, setiap orang di gereja ini akan memandangnya aneh pada pakaian yang ia kenakan. Tapi adakah orang yang tahu bahwa ia ingin berlari di tengah hujan pagi itu?

***

Bayangannya terbias pada jendela-jendela bergambar kristus. Roknya berkibar, melebar, dan terkesan berat seperti rok-rok yang pernah hidup pada mode-mode zaman viktorian. Ia tidak mengejar apapun, ia hanya lari dari waktu yang menyuruhnya untuk menatap kenyataan dengan lantang. Sepatunya berketeplok dengan suara yang rendah dan ringan. Siapa pun boleh menoleh ke arahnya tanpa berkata-kata. Sebab "amin" belum terucap dari bibir pendeta. Dan lagu Behind The Bright Blue Sky mendayu-dayu dari bibir para jemaat itu. Menggugah perasaan haru yang dibuat oleh hari. Apakah di luar sana langit biru membentang menawarkan harapan?

Ia seperti bidadari yang melarikan diri dari sebuah upacara pelepasan yang sakral, yang membuka pintu besar dari jati berukir yang berat dan mendapatkan angin menerpa-nerpa. Ia menuruni tangga, membiarkan rok putihnya yang lebar menyapu butiran hujan dan debu yang melekat pada tangga itu, dan berlari di tengah hujan. Ia menatap pada buket bunga-bunga ucapan belasungkawa yang berjejer rapi seperti mobil di tempat parkiran. Bunga-bunga untuk ayah. Tak ada bunga untuknya. Dan nyanyian itu…, I have my own craun….

Ia mengingat ayah. Pada pagi yang cerah, ia menemukan bunga-bunga pada vas-vas kosong dalam kamarnya. Ia mengitari kebun teh dengan kuda sepulang gereja. Mendapati banyak aroma, dan melupakan ibu. Menyuapkan sepotong roti pada bibir ayahnya seperti cara pendeta menyuapkan roti gandum padanya di hari perjamuan kudus. Mencuri shag4 ayah yang ditaruh di kotak pada laci kerjanya dan mencoba menghisap asap tembakaunya.

Ia tahu ia seperti bidadari yang melarikan diri dari waktu, yang berlari dicucuki hujan dan kehilangan sayap. Ia berlari melewati pagar, melewati kembang-kembang setaman, melewati mobil-mobil yang diparkir. Berlari menelusuri deretan jalan yang ditumbuhi cemara dan akasia. Menantang hembusan lembab suasana pada garis yang dibuat bumi, pada aroma angin tropis. Dan nyanyian itu masih terdengar menggema pada gereja itu…, there will be my heart….

Ia bayangkan ketika saat ini ia bukan lagi seorang gadis yang terluka. Ia akan seperti keturunan Belanda lainnya yang manja, seorang gadis dengan gaun putih panjang, berjalan menuju altar bersama ayah. Menggandeng tangan ayah dengan bahagia dan memegang kuntum-kuntum mawar atau aster. Wajahnya berhias dan manis menyungging senyumnya. Ia tahu, di depan bersama pendeta, Isak menunggunya. Tentu ia tak akan peduli pada hujan, juga pada ibu. Dan mama akan senang di surga sebab anak bungsunya memasuki altar tempat ia dulu pernah menyatu dengan ayah. Ia akan disucikan, dijadikan satu dalam tubuh Tuhan. Ia diberkati.

Mungkin ia tahu, ia seperti bidadari yang melarikan diri dari jaring suci laba-laba yang keluar dari gambar jendela gereja. Ia dengar lonceng gereja berdentang beberapa kali. Ia pun mendengar Adam memanggil namanya dari gerbang yang kudus itu. Namun suara samar-samar itu tahu bahwa dia harus meleburkan diri pada derasnya suara hujan. Dan nyanyian itu mulai menghilang sedikit demi sedikit ditelan jarak dan waktu…, I saw thy face fully….

***

Pada waktu itu ia tidak kepemakanaman untuk menghadiri upacara pemakaman ayahnya. Untuk melihat ayahnya yang terakhir kali. Dan Adam, sepupunya yang mengejarnya di tengah hujan, terus mencari dan bertanya pada siapa saja, tentang gadis yang diam-diam dicintainya. Ia akan bertanya pada siapa saja yang melintas pada jalan itu, "Apakah kau melihat seorang gadis dengan senyum penuh luka?" atau bila ia tak sengaja menubruk seseorang di jalan yang mengenakan payung atau jas hujan dan menyapanya dengan marah-marah, maka pemuda itu akan menguncang-guncangkan bahu orang itu sambil mengatakan, "Aku sedang mencari seseorang." Hingga hari itu adalah hari di mana ia mendapat banyak kutukan dari orang-orang yang ia tanyakan.

Ketika ia tiba pada sebuah halte bus dengan pakaian yang kuyup dan mendamparkan diri sebagai seorang yang bingung, seorang perempuan separuh baya menghampirinya dan bertanya tentang adakah yang sedang ia tunggu atau ia cari. Dan pemuda itu hanya mengatakan dengan sisa asa yang ia punya tentang seorang gadis kuning yang berlari di tengah hujan, "Ya, aku mencari seorang gadis dengan senyum penuh luka." Perempuan itu lalu menunjuk ke arah jalan yang lurus dan mengatakan gadis yang dicarinya telah berangkat bersama putranya dan beberapa penumpang yang lain dengan bus yang menuju ke arah dataran rendah.

Pemuda itu terduduk di bangku besi sambil menghembuskan nafas keras-keras. Uap putih keluar dari hidungnya serupa asap rokok. Mengepul memainkan hangat. Ia ingat ketika pagi tadi ia menjemput Diane, gadis itu tak sedikit pun menyeruput jeruk hangatnya. Bibi Gres bilang kalau ia sedang payah. Hingga akhirnya ia hanya mengetukkan jari-jarinya ke meja dan memandangi Diane. Sampai akhirnya ia menemukan sesuatu pada bola mata gadis itu.

Uap.

***

Ia mengamati orang-orang yang menaiki bus itu. Penuh, sesak. Suara ayam dan tangis balita dalam kain gendongan seorang ibu. Dus-dus berisi ikan asin atau semacamnya dan keranjang sayuran. Ia mengamati seorang perempuan sebaya mencium laki-laki yang sepertinya adalah anaknya. Anak laki-laki itu memeluknya hangat dan menyelipkan surat dan setangkai kembang jalanan yang telah lunglai. Sebuah pelukan yang hangat seperti jeruk hangat yang disuguhkan bibinya pagi tadi. Namun ia mendahului laki-laki itu menaiki bus.

Ia menaiki bus yang sumpek dan banyak di antara mereka yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Dan ia pun ikut berdiri. Matanya memperhatikan orang-orang. Orang-orang menurunkan tangkai payung dan melipatnya, menata dus-dus dan kopor-kopor tua, menurunkan rel sleting jas hujan, menaruh ayam-ayam betina putih yang kakinya diikat di bawah tempat duduk mereka, kondektur yang merokok, lelaki berkumis yang merapatkan jaket hitamnya, dan ibu yang mendiamkan anak balitanya. Beberapa dari orang-orang itu juga memperhatikannya, bajunya yang basah, roknya yang kusut dan tak lagi putih, sepatunya yang berlumpur, atau Injilnya yang lepek. Apakah mereka tahu bahwa ia habis berlari di tengah hujan pagi ini?

Tawa, mimpi, harapan, dan tangis, serta bebauan pegunungan menjadi satu dalam bus hingga seseorang menarik tangannya, dan ia tercengang melihat seorang laki-laki bertopi baret hitam di sebuah sudut terbelakang yang dekat dengan jendela menawarkan tempat duduknya. Ia mendatangi laki-laki itu, duduk, dan menebarkan senyuman. Pada segaris senyum di bibirnya itu sebenarnya membuat laki-laki itu iba, meski itu tanda terima kasih tanpa kata-kata yang diucapkannya.

Ia duduk tanpa berkata-kata, menatap keluar jendela yang terbuka dan tak dapat ditutup karena macet. Ia melepas pita ikatan rambutnya karena kini rambutnya telah sangat berantakan dan membiarkan wajah serta rambutnya disapa ujung-ujung angin yang membawa butiran hujan. Bus melintas membawanya lari dari waktu. Depus angin yang mengendus-endus membuatnya terbang seperti burung ketika hamparan pemandangan hijau dan vila-vila di atas bukit memperjelas diri mereka dari kabut-kabut yang menutupi. Pegunungan baginya tak pernah lagi punya warna dingin sebab ia telah terbiasa pada cuaca yang memain-mainkan daya tahan tubuhnya. Sesekali matanya berkedip karena kering dan menemukan Diane kecil yang berlari-lari di hamparan kebun teh ayahnya. Mendapatkan ayahnya sedang memadu kasih di istal bersama ibu. Memandangi foto-foto mama di masa lalu. Mendengarkan rekaman tawa ayah yang khas dan keras seperti layaknya seorang laki-laki berdarah Holand lainnya. Dan mendapatkan bunga-bunga misterius dari seorang pemuda bernama Isak setiap hari Jumat dan Minggu. Mendapatkan ciuman pertama dan dilukis telanjang di sebuah kamar.

Pada suatu ketika, ia pun ingat ayahnya pernah mengatakan bahwa ia tidak boleh kecewa, sebab pada saatnya nanti ia tidak perlu lagi menunggu bunga-bunga karena setiap hari akan selalu ada bunga dalam kamarnya. Bunga-bunga akan berdatangan sendiri mungkin di hari-hari menjelang pernikahannya, atau bahkan kematiannya, sebab semua orang tak akan pernah melupakan seorang gadis bernama Diane.

Ia memeluk erat Injil di dadanya seperti memeluk mantel yang tebal. Ia merindukan kehangatan-kehangatan, seperti pelukan perempuan separuh baya di halte tadi, atau jeruk hangat yang ditawarkan bibi Gres.

Waktu semakin tertinggal jauh di belakang, dan kini deras hujan menyurut, menempatkan waktu yang tidak lagi pagi. Ia berpaling dari masa lalu dan baru menyadari bahwa laki-laki yang duduk di hadapannya, yang tengah tertidur pulas, adalah laki-laki yang menyelipkan surat serta setangkai kembang pada perempuan di halte tadi. Dan laki-laki berbaret hitam yang berdiri serta memperhatikannya sedikit-sedikit adalah laki-laki yang menawarkan tempat duduknya.

Pada suasana yang mulai teduh dan tenang karena sebagian besar penumpang tertidur, kondektur mulai menagih tariff jalan. Tapi ia kembali memalingkan wajahnya keluar jendela. Ia hanya membawa Injil. Sehingga ketika tangan kondektur meminta tarif jalan padanya, ia hanya menatap kebingungan. Maka laki-laki berbaret hitam yang berdiri itu seraya tahu bahwa ia tidak membawa uang, dengan cepat ia mengeluarkan selembar uang puluhan dan berkata, "Aku dengannya." Sekali lagi ia menatap laki-laki itu dengan senyuman terima kasih pada bibirnya yang pucat biru karena dingin. Namun laki-laki itu tetap merasa bahwa senyuman itu sungguh menyakitkan.

Laki-laki itu bertanya, "Apakah kamu mau pergi ke Kota?" tapi ia tidak menjawab, karena baru kali ini ia pergi sendirian ke tempat yang jauh yang ia tidak tahu dan ia memang tak punya tujuan.

Sampai pada pemberhentian bus yang lain, ketika banyak penumpang turun dan laki-laki berbaret itu mendapatkan tempat duduk di tempat yang lain yang jauh darinya dan lebih nyaman. Meski begitu tak sedikit pun ia beranjak untuk mendapatkan tempat yang lebih baik. Sedang laki-laki yang tertidur di depannya telah terbangun dan turun untuk mencari bus lain yang sesuai dengan arah tujuannya. Kini di dalam bus beberapa tempat duduk tampak kosong.

Bajunya hampir kering dan lumpur di sepatunya telah mulai mengelupas. Sempat ia perhatikan jari-jari tangannya yang masih mengeriput ketika seorang kakek naik ke dalam bus dan hendak duduk di hadapannya. Kakek itu tampak kesulitan melipat payung hitamnya. Sebuket mawar merah bercampur aster kuning diletakan di sampingnya. Ia melipat payung hitam itu dengan tangannya yang telah keriput dan bergetar. Payung hitam yang begitu uzur dengan tangkainya yang terbuat dari besi yang tidak lagi mengilat, tetapi mulai bengkok dan berkarat. Meski begitu payung itu mengingatkannya pada payung hitam yang dibuka Adam tadi pagi, berputar-putar pada porosnya. Seperti hujan, seperti hendak menebarkan sesuatu.

Ia pun memperhatikan sandal jepit yang dipakai kakek itu yang dipenuhi oleh lumpur yang basah dan liat. Sesekali ia menatap kakek itu, menatap matanya yang kelabu dan tak lagi jernih. Menatap segala sejarah kesusahan hidupnya yang terangkum dalam matanya dan terbias pada rambutnya yang telah hampir memutih semua. Ia menelan ludah dan kembali memperhatikan buket bunga merah dan kuning itu. Sampai pada suatu saat mata mereka bertemu dan ia kembali memalingkan wajah keluar jendela. Kakek itu telah selesai melipat payungnya dan membiarkan payung itu bersender di sudut di sampingnya, hingga bulir air-air hujan dari payung itu menetes dan membuat basah lantai bus. Kakek itu mengambil buket bunganya dan dipegangnya erat-erat dengan kedua tangannya yang rapuh. Namun lelaki tua itu seakan tahu bahwa diam-diam ia tengah mencuri pandang untuk melihat bunga-bunga yang dipegangnya.

Ia mulai menerka-nerka kalau bunga-bunga itu baru saja dibelinya untuk dihadiahkan pada seorang cucu perempuannya, atau anak perempuannya yang akan menikah mungkin. Atau, ia pun mengira kakek itu baru saja mendapatkan bunga itu dari seorang sanak yang peduli sekali akan hari tuanya. Sekali lagi ia mencuri pandang pada buket dalam genggaman tangan tua itu, maka tak ada tempat ia menyembunyikan wajahnya karena sang kakek selalu memergokinya. Kakek itu melontarkan senyum padanya setiap kali tingkahnya diketahui dan ia pun hanya membalas senyum itu seperti senyuman pada laki-laki yang menawarkan tempat duduk padanya.

***

Kakek itu menemukan gadis itu menyiratkan senyuman penuh luka. Ia membuang wajahnya yang segar dan pucat itu keluar jendela. Kakek itu tahu gadis itu kedinginan, memeluk sebuah alkitab seperti memeluk sesuatu yang dapat menghantarkan rasa hangat. Gadis itu memperhatikan setiap pohon yang mulai berderet jarang-jarang seraya mengenang serentetan kenangan di sepanjang perjalanan hidupnya yang masih terlampau muda. Wajahnya seperti perdu yang ditumbuhi oleh bunga-bunga berwarna kuning sekuning baju yang ia kenakan. Namun wajah segar yang memantul kekuningan itu adalah wajah yang serupa dengan suasana siang itu. Siang yang mendung dengan langit keabuan membentang tanpa jeda dari utara ke selatan. Sesekali sang kakek melihat gadis itu menelan ludah kala tatapan mereka bertemu. Kakek itu tahu, gadis kuning itu menyukai bunga-bunga yang dipegangnya. Maka mata kelabu itu menerawang jauh menembusi waktu, menembusi senyum mungil yang terluka itu. Mengarungi masa lalu.

***

Hampir limapuluh tahun lalu ketika hujan gerimis seperti saat ini. Ia menemukan seorang gadis dengan kebaya hitam bemotif daun-daun hijau. Rambutnya rapi tersanggul dengan melati menghiasi. Ia duduk di samping dua orang teman perempuannya, memperhatikan dengan saksama lakon yang dimainkan Nurnaningsih dalam sebuah filmnya. Ketika keluar dari gedung bioskop, ia mendengar perempuan itu tertawa. Sebuah tawa khas perempuan yang benar-benar menikmati kemerdekaan. Herman, temannya, memperkenalkan ia pada ketiga perempuan itu. Dan gadis itu bernama Nina, seorang gadis sembilan belastahun, adik dari seorang teman Herman. Ada sesuatu yang dapat dilihatnya pada mata bening itu. Sebuah uap yang menghembuskan cinta pertama, sejumput senyum gadis kemayu yang manja dan baru mendapatkan bebas pada seusianya.

Nina dijemput kakak lelakinya, dan sebelum ia mengibaskan selendang hijaunya sempat keluar dari bibir manis itu bahwa minggu depan di waktu yang sama ia akan menonton lagi di bioskop itu. Sebuah bioskop dibilangan Paser Baroe.

Maka pada malam-malam yang panjang di langit musim hujan, banyak sudah puisi dan surat yang ia tulis untuk dapat melampiaskan rindu pada gadis berselendang hijau itu. Setiap ada waktu usai mengajar di SMEP5, ia pun akan menyempatkan mampir ke rumah sang gadis di bilangan Harmony. Ia akan memasuki sebuah gang kecil yang berdebu bila hari sedang tidak basah, menemukan deretan kembang-kembang asoka yang ditempeli debu, menemukan pagar kayu bercat hitam dengan rumah yang teduh lagi asri, dan menemukan seorang gadis dengan kepangan yang permai sedang duduk di beranda. Gadis itu akan terkejut, dan matanya mencerminkan senyum manisnya. Gadis itu tahu bahwa seseorang telah datang untuk mengambilnya dari taman bunga, seseorang yang kelak akan memetiknya, menikmatinya, dan layu bersamanya. Maka ia dengan malu-malu berlari ke dalam dan membiarkan kainnya terseret menyapu lantai. Ia akan berteriak, "Mas Heru di luar ada tamu. Temanmu itu, lho." Ia baru kembali apabila telah membawa sajian teh hangat atau kopi kental dengan kattetong6, kacang , atau nastar.

Nina, gadis itu, selalu mengenakan kebaya terbaiknya dari bahan brokat dengan motif yang selalu menarik. Ia akan menghias rambut dan memberi gincu pada bibirnya. Nina selalu memesona setiap kali ia mengajaknya untuk nonton di bioskop atau berjalan-jalan. Ia jadi ingat pada suatu pagi di hari minggu ketika ia mengajaknya jalan-jalan. Entahlah mungkin ke Pasar Ikan atau ke Kota, hanya hendak melihat-lihat saja, reflesing, tanpa ada tujuan yang pasti. Dan tanpa sengaja, ketika menunggu trem dan gerimis turun sementara mereka tak membawa payung, serta perbincangan mereka mulai lirih, ia mengamit tangan gadis itu, mendekapnya dalam-dalam di dadanya. Gadis itu tersenyum, dan tanpa banyak bicara mereka menaiki trem. Duduk diam-diam. Kendaraan itu seperti berjalan dengan sangat lambat dengan bunyi kleneng-klenengnya yang merdu, dan mereka seakan tak mau turun di tempat pemberhentian manapun. Menurutnya, hujan adalah anugerah yang membuatnya terdampar pada kenikmatan cinta dari seorang gadis berkepang yang memandang ke arah luar jendela dengan senyum mudanya.

Ia ingat wajah segar itu berseri berderai-derai ketika bibirnya memagutnya. Atau saat gadis itu menemukan sepucuk surat dan kembang-kembang berwarna dan beraroma pada setiap pagi beberapa kali dalam seminggu. Semua yang segar itu, semua yang indah itu, segala cinta yang mengembang itu, tak pernah layu meski telah waktunya. Segalanya berpendar-pendar bak cahaya. Mewarnai waktu demi waktu, dalam kesendirian, dalam kesepian, dalam kehampaan. Nina baginya adalah hakikat seorang perempuan yang tidak pernah merasa sepi, meski keceriaan dan senyumnya digubah waktu menjadi seorang yang sendiri. Menjadi seorang perempuan dengan senyum penuh luka setiap kali ia coba memasuki ke kedalaman matanya.

Ia ingin meletakan setangkai mawar pada kelopak mata itu. Ia ingin perempuan itu tetap tahu bahwa betapa ia tidak bisa melupakannya, bahwa ia tetap seorang laki-laki yang penuh kasih padanya seberapa adanya perempuan itu sekarang. Ia ingin menghapus senyuman luka yang pernah terukir di wajahnya, sehingga ia tak perlu mendengar lagi perempuan itu menangis tengah malam di ruang tamu dengan hanya ditemani lampu gantung yang temaram dan menatap hampa pada kembang sedap malam yang bergoyang-goyang kaku. Ia ingin mengatakan bahwa betapa bahagia hidupnya karena Tuhan mempertemukannya padanya, sekalipun ia adalah seorang perempuan yang tidak pernah diberkahi keturunan.

Sungguh saat ini ia seperti melihat segala yang telah berlalu itu. Merindukan segala yang nyaris hilang ditelan umurnya. Merindukan hangat tatapan mata atau kecupan. Atau mungkin pula hangatnya sarapan pagi yang disediakan perempuan itu. Kopi kental panas yang benar-benar masih beruap bersama pisang yang digoreng dengan sedikit tepung dan garam.

Namun ia melihat gadis kuning itu lagi, menghimpitkan wajahnya yang segar tetapi pucat di samping kaca jendela yang terbuka lebar. Sesedikit gerimis menggores pipinya. Dan garisan senyum itu mengingatkan ia garis senyum Nina pada wajah tirusnya saat berada di trem dulu, di waktu yang berbeda ketika ia mengamit tangannya dan menaruhnya rapat-rapat dalam dadanya. Ia tahu, ada sesuatu yang sedang disembunyikan, mungkin tentang luka, atau kecewa yang dibuat hidup atau laki-laki.

Ia menunduk, menatap buket mawar dan aster dalam genggamannya. Pada matanya yang kelabu itu ia merasakan hangat dan sesuatu yang berair hendak meluncur di ujung-ujungnya. Ia mengambil sapu tangan biru dari sakunya dan mengusap ujung-ujung matanya. Tanpa sengaja ia merasakan gadis dengan pakaian kuning itu memperhatikannya lagi sambil menahan senyumannya yang mengingatkan ia pada bingkai Nina yang telah berdebu. Ia membalas senyuman itu, berkali-kali setiap kali gadis itu dipergokinya tengah memperhatikannya atau memperhatikan bunga-bunga dalam genggamannya.

'Andaikata Nina dapat mengulang hidupnya, tentu aku akan memetik lebih banyak bunga-bunga untuknya hari ini, dan ia tidak perlu tersenyum seperti itu.'

Lalu ia menatap pemandangan di luar jendela, memperhatikan apa yang diperhatikan oleh bunga perdu yang sedu itu.

***

Menuju jalan yang lurus, menunjukan tiang-tiang lampu yang tinggi. Segala cekung waktu telah terlewati dan matahari mulai menguapkan sinarnya meski gerimis tipis tetap membasahi. Ketenangan dan mimpi mengambang di ujung kantuk dan helaan suasana yang mulai menghangat. Dataran rendah. Pohon-pohon yang kehilangan warna. Rumah-rumah yang bergelimpangan tak beraturan dan rapat padat. Gedung-gedung yang menjulang. Becek. Orang-orang yang sibuk. Segalanya terlihat jelas dari sebuah sudut belakang bus, tempat ia duduk berdamping dengan jendela yang tak pernah bisa ditutup. Tol yang macet di sebuah jalan fly over yang memisahkannya dengan rumah dan luka. Ia perhatikan lagi kakek itu yang terjaga dari kantuk, dan bunga-bunga yang tidak pernah layu sepanjang perjalanan waktu. Apakah kakek itu tahu bahwa ia habis berlari di tengah hujan pagi tadi?

Ia menelan ludah, tetapi kakek itu mungkin sudah jenuh untuk mempertemukan tatapannya dengan matanya.

Tiba-tiba ia sadar bahwa ia tak punya tujuan. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan ketika bus yang ia tumpangi akan menuju terminal terakhir. Apakah ia harus berlari lagi?

Sedikit disempulkan kepalanya keluar jendela, dihirupnya udara kota yang hangat. Menatap angkasa yang mulai membiru segar dan menemukan burung-burung berbaris berterbangan dengan rapi. Ia pejamkan mata. Bus keluar dari jalan tol. Namun di tengah keramaian kota yang permai itu ia temukan sedapnya bebauan kamboja. Sebuah bunga yang menyebarkan keabadian. Sebuah bunga khas yang mengingatkan ia pada ayah. Pada mama yang tertanam lebih dulu. Pada gundukan tanah merah yang basah.

Terlepas dari kemacetan lalu lintas kota, terdengar suara klakson dan ia mendengar kondektur bus itu menyebutkan nama suatu halte pemberhentian sebelum bus itu mengakhiri perjalanannya pada terminal terakhir. Segera ia melihat kakek tua itu mengambil payungnya dan bersiap hendak berdiri. Namun segala detik seperti tertunda dan gerimis tipis di luar berubah menjadi kristal. Kakek itu memperhatikannya dengan senyum…, entah mungkin seperti senyum pertama kali yang ia lontarkan pada cinta pertamanya. Namun untuk kesekian kali balasan senyumnya masih tetap sama.

"Kau mengingatkanku pada anak perempuanku yang tidak pernah aku miliki." Lelaki tua itu menatapnya. Alisnya yang kelabu merenggang saat wajah yang penuh garis keriput itu mengendur sebab sunggingan di bibirnya. Mata lelah itu menembus selaput jala di matanya. Dan ia tak ingin berpaling karena ia tertegun dan heran. Bukankah dalam perjalanan yang basah dan tenang itu mereka tak pernah berkata sepatah pun kecuali bertemu dalam tatap?

"Aku tahu, kau menyukai bunga-bunga ini," ujarnya. Suaranya yang tua itu terdengar dalam dan serak. Ia memperhatikan jakun lelaki tua itu. Kini ia tahu lelaki tua itu menelan ludah. Ia tahu ada sesuatu yang tersangkut di sana.

"Dan aku rasa istriku menghendaki kau memilikinya. Aku akan memberitahu dia bahwa aku memberikan bunga-bunga ini padamu." Ia tersenyum untuk yang terakhir kali dan memberikan buket yang semerbak itu padanya. Gadis itu dengan heran tak menolak. Ia menerima pemberian tulus itu dengan hati yang penuh rona. Sesaat kemudian setelah mata kelabu itu berpaling, ia melihat sepasang kaki bersandal jepit teplek beralaskan lumpur yang telah mengering dan mengelupas. Kaki. Langkah kaki laki-laki tua itu turun dari bus dan berjalan memasuki pintu gerbang sebuah pekuburan kecil.

***

Pada sebuah halte tak seberapa jauh dari gereja yang memiliki lonceng di atas menaranya, seorang pemuda masih duduk di bangku besi. Hujan tak kunjung reda. Sedang hari menjelang sore. Dan ia tak peduli pada sebuah acara pemakaman atau pernikahan, meski banyak orang yang mencarinya atau membujuknya untuk kembali. Tidakkah mereka lihat bahwa matahari pun tengah sesegukan?

Seberapa lama ia menunggu?

Halte yang dingin dan mulai kehilangan penggemar. Gadis kuning dan hujan. Matanya menghangat. Nafasnya beruap. Uap seperti jeruk hangat pagi tadi. Menatap mata seorang gadis pucat dan disela-sela itu ia menemukan sebuah senyuman yang membuat hatinya terluka. Apakah semua orang tahu ia sedang menunggu? Apakah semua orang tahu bahwa ia sedang mencari seorang gadis dengan senyum penuh luka yang berlari di tengah hujan pagi tadi?

***

Aku.

Baru pertama kali aku menjumpai kesejatian yang begitu aneh dalam satu waktu. Ketika aku memperhatikan dan berdecap kagum pada sketsa untitled dan beragam nude7 yang dilukiskan Isak untukku. Lukisan-lukisan aku yang telanjang di kamar, di tengah kebun teh, di tengah hujan, di hamparan perdu, dan berbaring manja pada bunga-bunga berwarna merah, kuning, ungu, putih, dan nila. Bukankah sekarang aku menerima bunga dari seseorang yang sama sekali tak kukenal? Bukan ayah, bukan Isak, bukan bibi Gres, bukan Adam, bukan kakak-kakakku, bukan siapa pun juga. Hanya seorang lelaki tua yang tidak mengerti Injil, hanya seorang lelaki tua yang sungguh memiliki sejarah yang berbeda dan tak ada sanggut pautnya dalam hidupku.

Dan kamboja-kamboja itu mengingatkan aku untuk kembali pada waktu. Untuk kembali berlari.

Aku menatap kondektur itu. Aku tak ingin turun pada terminal terakhir. Namun kakiku terpatri dan mataku menjatuhkan air mata pada kelopak-kelopak segar dalam genggamanku.

Aku.

Untuk pertama kalinya aku mengeluarkan air mata di hari ini. Ketika sedikitpun aku tidak menyentuh jeruk hangat buatan bibi Gres, atau saat aku berlari keluar gereja tanpa mengucapkan kata "amin" dan tersenyum pada pendeta. Ketika aku tak mengeluarkan suara untuk bernyanyi Behind The Bright Blue Sky dan tak menaruh harapan pada langit biru di luar sana. Atau tak berdoa. Dan bahkan aku tak peduli pada peringatan kristus untuk diam di tempat saat gema lonceng berdentang melawan deras suara hujan. Aku hanya ingin berlari di tengah hujan. Menuruni tangga saat lonceng berdentang tanpa meninggalkan suatu jejak seperti yang dilakukan Cinderella. Aku pun tak mau mendengar teriakan Adam memanggil namaku di depan gerbang, dan meski ia takut jasnya basah ia ternyata lebih takut tak menemukanku. Namun kini, jarak membuatku ingin kembali berlari.

Apakah kondektur itu bingung dengan tatapanku?

"Aku turun!" pintaku.

"Nanti, sebentar lagi, di depan."

"Aku ingin turun!" kataku lagi.

"Di sini tidak boleh menurunkan penumpang."

"Tapi aku ingin turun di sini!" teriakku.

***

Suatu saat di senja hari. Semua orang akan melihat seorang gadis kuning dengan senyuman penuh luka dan sebuket bunga serta Injil di tangannya berlari kembali ke dataran tinggi. Melewati jalan tol fly over. Melewati kendaraan-kendaraan dan deretan pepohonan. Menembus rintik hujan. Bila ia lelah, ia akan berhenti, dan bila bertemu seseorang ia akan mengatakan bahwa ia telah menikah siang tadi di sebuah bus. Ia akan memperlihatkan bunga-bunga itu sebagai tanda pernikahannya.

Ia pun tahu untuk apa bunga-bunga itu akhirnya. Ia akan berhenti berlari pada terminal terakhir, yaitu sebuah pemakaman. Di sana ia akan bercerita pada sebuah nisan putih dengan tanah merah yang masih basah dan segar,

"Ayah, aku telah menikah hari ini. Sayang ayah tak bisa mendampingiku. Tapi ayah tak perlu mengulangi hidup, sebab aku akan mengirimkan lebih banyak bunga setiap kali aku mampir di sini."

***

Gading basah, Mon 070305 at 23.29
Teruntuk sutradaraku: Fadli

Catatan:

Corfivollus: sejenis bunga perdu

Sakramen : acara ibadah yang bersifat khusus dalam agama Kristen Protestan di antaranya penyerahan anak, babtisan air, perjamuan kudus, pernikahan, dan kematian (upacara pelepasan).

Nubuatan : firman Tuhan dalam alkitab

Antiokhia : nama jemaat pertama pengikut Kristus di Antiokhia

Shag : rokok cerutu khas Belanda

SMEP : Sekolah Menengah Ekonomi Pertama

Kattetong : dari bahasa Belanda, merupakan kue kering yang biasa disebut Lidah Kucing

Nude : lukisan perempuan telanjang

Tulisan Anda sangat inspiratif. Dalam rangka memuculkan penulis-penulis Kristen kreatif, akan diselenggarakan festival penulis dan pembaca kristiani. Salah satu pre-event adalah lomba menulis cerpen dan novelet berdasar Alkitab. Anda mungkin berminat untuk ikut? Info lengkap dapat Anda klik di Lomba Menulis Cerpen dan Novelet Berdasar Alkitab

Post a Comment
Google Docs & Spreadsheets -- Web word processing and spreadsheets. Edit this page (if you have permission) | Report spam