« Home | Perca » | Kembang Sri Gading » | La Runduma »

Kering

Cerpen Wa Ode Wulan Ratna

Aku dapat merasakan geliat kambium dari pohon-pohon cinta itu melumer, menawarkan bau birahi untuk dicium kehidupan dan diendus perempuan-perempuan malam. Tiba-tiba lengkap sudah pikiranku pada perempuan masai itu. Ia bergelinjangan dengan mesranya di atas ranjang malam. Mematut sepi menghujat bayangan. Katanya masih seputar hutan, aku dilarang memperkosa belantara itu. Tapi aku bilang aku suaminya dan nasi tidak turun langsung dari langit. Lalu aku pergi berbulan-bulan hingga malam ini aku masih di sini. Tidak kembali pada dadanya, tidak kembali pada permohonannya.

Wak Atan berteriak, tapi aku tak dapat menangkap dengan jelas apa yang ia katakan. Pohon tumbang satu-satu, tapi suaranya tidak lebih keras dari deru mesin-mesin penebang. Hingga setiap suara yang keluar dari mulut laki-laki itu hanya tertangkap daun-daun jatuh.

***

Lelaki itu tidak mengerti cinta, tapi ia lihat hujan tipis turun warna-warni mempermainkan pelangi. Cakrawala terbuka, entah itu pagi atau petang ia tak tahu. Tapi ia merangkum hijau dedaunan dan cokelat tanah. Ia memetiki embun-embun segar dari rerumput liar untuk kemudian di masukan ke dalam kantung-kantung jas hujannya. Kemudian ia melihat belantara tertimpa cahaya seterang wahyu, pohon tumbuh satu-satu, makin lama makin besar. Begitu cepat pohon-pohon itu tumbuh dan rindang. Ia subur dalam pupukan doa dan harapan dan ia menjulang ke langit, seperti pohon kacang dalam dongeng menuju negeri di awan.

Lelaki itu terbatuk ketika asap tembakau menghangatkan rongga dadanya. Ia mengucak mata dan menemukan Zulfan tersenyum padanya sambil menghirup aroma kopinya.

“Matamu merah, tak tidur kau semalam, hah? Masih sangat siang sekarang untuk bermimpi lagi.” Katanya. Lelaki itu merenggangkan badan dan melihat ke arah jam dinding yang menunjukan pukul satu lewat duapuluh menit.

“Fras Tandipau, sahabatku, coba lihat ini!” Zulfan memanggilnya. Seperti biasa ia giat mengikuti langkah kerja.

“Kenapa? Apakah titik apinya bertambah lagi?” Fras memperhatikan rekaman satelit National Ocean and Atmospheire Administration 12 yang dipantau Badan Meteorologi dan Geofisika tempatnya bekerja.

“Berdasarkan rekaman satelit ini, ada delapan puluh titik api yang tersebar di Sumatera. Apakah kau tidak lihat di tempat ini, lihat… lihat… ad….” Fras mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang basah keringat, pikirannya melanglang buana pada Nara.

“Kenapa Fras? Kau ingat adikmu yang tidak pulang itu? Bah, paling dia sudah sukses menjadi tauke. Sudah sampai di bukit Samyong sudut Batam.”

“Aku sudah bilang itu bukan urusanmu, Zulfan. Kabut asap ini sama sekali tidak hubungannya dengan dia.” Zulfan mengasap lagi dengan rokoknya.

“Kau membelanya, Fras.”

“Aku cuma bilang itu bukan urusanmu. Itu…, dia akan diurus oleh orang-orang berwajib yang mengurus masalah itu.” Fras kembali melihat data komputer itu.

“Aku memikirkan istri adikku. Kau lihat Zulfan? Indikator kesulitan pengendalian kebakaran berada pada level sedang hingga tinggi di kabupaten Rokan Hulu, Pekanbaru, Siak, Kampar… dan sebaran titik api terbesar ada di Rokan Hulu.” Zulfan menggeleng-gelengkan kepalanya tapi Fras tahu laki-laki itu tidak mendengarkan kata-katanya.

“Hujan lokal tidak merata, sangat sporadik, dan….”

“Masih saja kau mau mencuri hati perempuan itu. Kau membela adikmu tapi kau juga mengkhianatinya diam-diam.” Fras diam, ia menoleh pada Zulfan.

“Kalau kau tiada mengerti cinta, kau tak perlu bicara apa-apa.” Zulfan tertawa.

“Alamak!!! Sahabatku si pecinta alam ini ternyata sudah lantung! Kapan kau balikkan uangku? Adikmu sepertinya tak akan kembali.” Katanya setelah tawanya pecah berkecai-kecai.

“Nanti, tunggu aku dapat gaji. Aku tahu, Zebe tak akan datang lagi setelah tiga bulan lalu. Aku bertanggung jawab terhadap apa-apa saja yang ia tinggalkan dan sisakan untukku.”

“Sungguh kau orang penuh kesabaran bahkan perempuan yang disisakan adikmu itu kau nafkahi juga.” Fras menghapus peluh di keningnya. Membicarakan semua ini pada Zulfan seperti sia-sia belaka. Temannya itu selalu merasa kasihan sekaligus tidak suka dengan nasib yang menimpanya.

“Berdasarkan garis angin, titik api bertiup ke arah Dumai karena angin berhembus dari Barat Daya. Kalau diprediksikan titik api bisa terus meningkat karena frekuensi hari hujan kurang dari sepuluh hari. Seminggu saja tidak turun hujan, angka indeks bisa meningkat.” Fras bersandar pada kursinya dan menatap langit-langit. Ia dapat merasakan Zulfan menghirup aroma tembakaunya dalam-dalam dan melepaskan asap yang beberapa detik lalu memenuhi paru-parunya itu ke udara.

“Apa maksudmu?” Zulfan melihat layar setelah mematikan api dari putung rokoknya.

“Aku harus membawa Nara dekat denganku.”

“Apa?”

“Aku tadi bermimpi hujan turun warna-warni.”

***

Aku melihat ada bayangan pohonan tumbuh di wajahmu, Nara. Ia berkelebatan. Bukankah kita sama-sama mencintai segala yang hijau itu? Dan dari semak yang diapit dua pahamu yang lencir, aku dapat mencium bau itu begitu menyengat. Seperti pupuk kandang yang masih hangat, aku ingin ada benih tumbuh subur di dalamnya. Bukankah tiga belas purnama telah kau lalui dengan kesepian yang sempurna? Kau melolong bersama malam, bersama pohon-pohon yang merenggang nyawa. Tapi kau sangsai. Sampai kapan kau menunggu pemerkosa hutan itu kembali merapatkan tubuhnya padamu? Nara, jangan tunggu sampai rahimmu kering dan gersang bahkan sampai tak dapat melahirkan kata-kata.

Nara melenguh, ia mengusap air matanya yang berwarna-warni seperti hujan dalam mimpiku tempo hari.

“Kakak macam apa kau, Fras?”

“Adik macam apa Zebe itu?” Nara sesegukkan lagi.

“Nara, aku tak marah ia langkahi aku. Tapi jika itu membuatmu sengsara begini aku tak sudi.” Perempuan itu menarik selimut hingga menutupi dagunya.

“Bisakah kau lukiskan kembali langit yang lengkap dengan rembulan dan tubuh perawan?” ia menatap ke luar jendela. Bulan tenggelam dalam kabut asap. Aku tak menyahut.

“Fras, tidakkah kau sadar aku sudah seperti lahan gambut di musim kemarau yang panjang ini. Begitu gerah, begitu kering dan mudah menyala. Pemantikmulah yang kurelakan membakar tubuhku, tapi seharusnya kau hamili saja batu-batu.”

“Apa maksudmu?”

“Aku hamil.”

“Apa?”

“Aku hamil!”

“Alhamdulillah.”

“Apa?” suara Nara mulai menyala-nyala. “Mengapa kau malah bersyukur aku hamil?”

“Sebenarnya aku tak mau kau hamil dengan seorang pembalak liar.”

“Kau tega, Fras. Biar bagaimana pun suamiku adalah adikmu.”

“Jangan sampai kau makan uang haram.”

“Perbuatan ini, jauh lebih haram.”

“Aku akan menikahimu.”

“Aku tak mau.”

“Nara, kau sudah bercerai dengannya. Waktu telah mengantarkanmu pada sebuah jawaban bahwa ia tak akan kembali.”

“Aku mencintainya, Fras. Kau tak mengerti.” Katanya lirih menutup wajahnya dengan tangan. Ia tersedu di bahuku. Seandainya perempuan ini tahu, bukan seperti kebakaran di hutan-hutan itu, bila api ini tak kunjung padam di hatiku. Bara ini akan terus mengepul, membiarkan asap itu memerihkan mata, mengaburkan pandangan hingga tak seorang pun yang tahu aku telah memeram cemburu hingga membiru. Zebe, kau titipkan perempuan ini baik-baik padaku. Seandainya kau yang tak berkabar tahu, aku menjaganya lebih baik dari yang kau duga.

***

Dulu sekali pada bulan September lelaki itu ingat betul, rasi bintang perawan tengah lingkupi bumi, wadahi kepala mereka. Malam-malam membawa pelita teding mereka berlarian dengan girang memerawani hutan. Zebe, adiknya bersembunyi pada kerindangan pohon kempas dan menjadi bayangan dedaunan.

“Cepat pulang, hari sudah malam!” Teriak emak, suaranya jauh entah di mana. Lelaki itu menangkap bayangan adiknya.

“Ze, cepat pulang!!!” ia berteriak di balik pohon kempas. Zebe terkejut, tapi ia berlari sambil tertawa. Zebe, terantuk akar pohon dan jatuh menabrak pelita yang dibawa lelaki itu. Tumpah ruah api itu menyala, ah… masihkah kemarau sejahanam dulu?

Dari balik jendela rumah, mereka melihat asap menebal hingga fajar.

“Apakah Abang sudah benar-benar matikan api itu?” Tanya Zebe dengan mata merah karena takut dan merasa bersalah.

“Sudah kuinjak tanpa bekas.”

“Sungguhkah tak ada hujan, tak ada embun yang buat api itu berhenti menyala?” Zebe menangis. Tangan lelaki itu gemetar mengelus kepala adiknya.

“Jangan khawatir Ze, hutan memang penuh rahasia. Pagi-pagi nanti orang-orang sekampung pasti akan memadamkan api itu.”

“Abang jangan marah pada Zebe. Itu tidak sengaja, kecelakaan.”

“Iya, Abang hanya tidak suka ada kebakaran hutan.” Kata lelaki itu lirih.

“Zebe tidak suka hutan, pohon itu buat Zebe terluka.” Katanya sesegukan.

***

Wak Atan terus berteriak hingga fajar menjelang. Aku tak menangkap jelas lengkingannya. Pohon-pohon telah tumbang, pohon-pohon yang dulu melukaiku dan membuatku terpuruk pada deraan orang-orang masa lalu yang sanggup membuatku bergetar dan bersembunyi di bawah kolong tempat tidur emak.

“Hentikan suara mesin, hentikan!” kali ini suara lelaki tua itu terdengar begitu jelas. Aku menghapus peluh dan terduduk melesapi angin dingin dini hari.

“Bagus, sebentar lagi kita hanyutkan pohon-pohon ini ke sungai. Kalian akan mendapatkan bonus besar.” Katanya. Aku tersenyum, orang tua itu tak akan bisa melihat jelas sunggingan di bibirku. Betapa rindunya aku pada perempuan itu, telah lewat satu tahun aku meninggalkannya tanpa kabar. Memang salahku, tapi aku tak mau ia tahu kalau aku masuk daftar orang-orang yang dicari karena proyek besar ini. Aku hanya menyuruh kakakku untuk mengantarkan kabar kalau aku baik-baik saja dan kalau ia harus sabar menunggu. Nara perempuan setia, aku tahu itu.

Sampai subuh menjelang kami duduk melingkar, Wak Atan ceramah tentang pohon-pohon, tentang uang, tentang kehidupan orang-orang malam yang mengais rezeki dari mimpi-mimpi. Hingga tiba bulan menjilati sisa mimpi dari ujung-ujung jemarinya, Wak Atan pun membagikan amplop-amplop yang sarat dengan uang.

Ah, aku pulang besok, Nara. Aku pulang! Uang setebal ini, apakah sebanyak daun-daun yang gugur itu? Aku bisa membeli rumah, baju-baju bagus, perhiasan untukmu, membuka usaha, segala sesuatu untuk membayar kealpaanku padamu selama setahun ini.

Namun ternyata, dalam menyambut fajar aku harus berlari menjauhi hutan. Sebab ada banyak preman lapangan dari balik pohon-pohon yang masih bersisa sejak semalaman mengintai perbuatan kami.

“Bedebah!” Wak Atan memaki. Ia berlari meninggalkan kami semua begitu saja, meninggalkan pohon-pohon tumbang tak terurus. Aku memaki, seharusnya tak kusisakan sebatang pohon pun malam tadi agar tak ada tempat para manusia peringkus pengepul kayu itu untuk bersembunyi.

Aku meludah. Inilah lelaki yang teringkus terang dalam kegelapannya. Aku berlari melewati samun yang mengering sebab musim tak memberkahinya dengan embun. Betapa indahnya musim-musim yang dahaga ini, Nara. Biar hutan tahu bagaimana rasanya terluka seperti aku dulu dihujat massa atas perbuatanku yang tidak disengaja.

Para pembalak yang lain berlarian entah ke mana. Tunggang langgang tapi tiada bersuara. Hanya rumput-rumput yang terinjak dan beringsut tersaput kaki-kaki lajang. Tak akan ada yang memikirkan nasib satu per satu dari kami. Seperti aku, mereka berlari sebab telah mengantungi rezeki. Siapa yang peduli? Ini pernah terjadi beberapa kali, hingga bukan hal baru lagi.

Tapi sesuatu yang mengendus halus membuat punggungku hangat dan mati rasa. Aku merasa, alam tiba-tiba menjadi mesra sebab di sana aku dapat menghirup asap-asap tropis yang hangat lagi lembab, seperti asap-asap tembakau yang memenuhi rongga dada. Begitu menenangkan dan mencandukan.

“Berhenti!” siapa gerangan yang memekik? Ah, bukan Wak Atan. Aku tak perlu mendengarnya. Aku harus berlari untuk bertemu Nara, maka aku susuri asap pada hutan-hutan berdebu ini. Cakrawala membuka celahnya, tapi pandanganku memudar. Sesuatu yang hangat kembali menyengat bahuku, rasanya seperti kesemutan yang mendalam. Aku terengah, tapi tak menengok ke belakang sebab samar-samar kudengar ricikan air sungai. Sungai berarus yang mengantarkanku dan pohon-pohon itu berlabuh.

Aku meloncat pada sebatang pohon kapul. Aku tak tahu, eratkah genggamanku pada batang itu? Sebab terakhir yang kurasakan punggungku terbakar, uangku bercecer, berenang, menggenangi air sungai yang warnanya luntur oleh darah.

***

Sepi melimbur malam. Perempuan itu kembali mencatat malam-malam kemarau. Menyanyi dendang-dendang rindu di tengah kegerahan. Telah sebulan ia pergi meninggalkan Rokan Hulu dan menetap di Pekanbaru bersama lelaki itu dan pada malam ini ia memutuskan membakar penantiannya dalam hutan-hutan yang dihajar kemarau.

Fras menghampirinya yang tengah berdiri menghadap jendela. Ia meraba perut perempuan itu.

“Apa yang kau pikirkan, Nara?”

“Bisakah kau lukiskan kembali langit yang lengkap dengan rembulan dan tubuh perawan?” lelaki itu terjongkok, bersimpuh memeluk pinggang perempuan itu dan melumerkan air matanya pada perut yang kian membuntat itu. Ia tak akan mengatakan sesuatu apapun tentang adiknya.

“Asap telah mengaburkan jarak pandangku dengannya, Fras. Kau benar ia tak akan kembali.” Ia mengusap rambut lelaki yang menangis dalam pelukannya.

“Bisakah kau buat rembulan indah kembali tanpa selimut kabut asap yang memerihkan itu?” Fras mengangkat wajahnya. Nara tersenyum dan menghapus air mata kekasihnya.

“Untuk sementara, kita hanya memerlukan masker, Nara.” Gumamnya.

“Seperti hujan dalam mimpiku semalam, air matamu berwarna-warni, Fras.”

***

Gading gerah, 20 September 2006

Catatan:

Tauke: Pencuri/ penebang kayu hutan diam-diam pada malam hari

Lantung: Amat busuk

Sangsai: Sengsara, menderita

Pelita teding: Lampu yang terbuat dari kaleng bekas bersumbu kain. Di atasnya ada tameng yang dipasang hanya sebelah untuk melindungi dari hembusan angin.

Samun: Semak belukar

Kapul: Terapung kuat

Google Docs & Spreadsheets -- Web word processing and spreadsheets. Edit this page (if you have permission) | Report spam