« Home | La Runduma »

Kembang Sri Gading

Cerpen Wa Ode Wulan Ratna

“Marilah menari dan menari demi dentingan dawai….” Oh, inilah nestapa itu, dewi Sujata! Di dalam tubuhmu yang gemulai dan gemerincing gelang kakimu Ia menemukan dawai-dawai siter itu melantunkan harmoni yang seimbang. Pada dadamu seumpama gading, Ia mereguk putih susu kehidupan. Dan karenanya Ia tercerahkan. Di bawah pohon pengetahuan laki-laki itu duduk bertapa. Telah usai Ia lewati penderitaan yang menguruskeringkan tubuhnya setelah bertemu denganmu, maka tibalah Ia pada suatu tingkat kesadaran. Arhat.

***

Aku ingin katakan padamu. Tahukah kamu apa artinya kembang sri gading? Ia yang dulu kugunakan untuk mencintaimu. Setelah abad-abad itu usai, kau tiada beranak pinak. Maka kugunakan nama kembang itu untuk namaku pada reinkarnasiku yang kesekian. Semata untuk mengingatkan kepadamu bila waktu ini kubertemu denganmu: Akulah perempuan dalam buah pengetahuan itu, yang dulu pernah melumat kembang sri gading dan mengambil sarinya untuk melumaskan kelaminku saat kau masuki. Pintu aib itu Dhana, meski kini terkunci tapi ia menyimpan memori bahwa bau kembang itu melumat mati setiap tetes manimu yang hendak membentuk daging dalam kandung rahimku.

“Beberapa hari lalu aku bermimpi. Aku menemukan cahaya dan naik ke atas langit.” Sudhana membetulkan letak tidurnya. Ia menghadapku, tetapi matanya menerawang jauh menuju cahaya dalam mimpinya.

“Apa itu artinya, Dhana?” kataku sambil tersenyum. Matanya lalu menatapku. Dan ia ragu-ragu menggeleng.

“Apakah kau sudah bertanya pada Nyi Ratri? Ia ahli meramal mimpi, bukan?”

“Ya. Tapi belum.”

“Mimpimu sepertinya angin yang baik. Kau pasti akan mendapatkan derajat yang tinggi.” Sudhana diam. Dia menghembuskan nafasnya pelan-pelan dan merapatkan kain penutup pinggangnya.

“Sehari sebelum aku bermimpi itu, aku bertemu seorang resi. Wajahnya penuh cahaya. Dan perkataannya sungguh bijaksana.”

“Apa yang ia katakan, Dhana?” Aku meraba alis Sudhana. Ia terpejam seraya mengingat.

“Ia bilang, dawai siter akan putus bila direnggang terlalu kencang. Kalau terlalu renggang suaranya akan sumbang.”

“Apa itu artinya, Dhana?” ia hanya menggeleng. Namun dalam pejamnya aku menemukan tetes air matanya membasahi telapak tanganku.

***

Apakah aku pelacur, Dhana? Bukankah kau epos itu yang tiba-tiba menjelma cahaya dan meninggalkanku begitu saja? Lalu kau hadir dalam relief-relief suci dengan hola di kepalamu sebagai teks sejarah akan sebuah kebijaksanaan ajaranNya.

“Jangan temui aku lagi, Pandu Wangi. Aku sudah mengambil keputusan untuk bertapa.”

“Tapi itu tidak adil! Aku mencintaimu bukan karena derajatmu, bukan karena tubuhmu.”

“Ah, kau sungguh menjijikkan bicara seperti itu. Apakah kau tidak merasa jijik dengan lendir-lendir yang kau usapkan diselangkanganmu saat kita hendak bersetubuh?”

“Ya, tapi memang begitulah salah satu cara untuk menolongmu dari tanggung jawab besar.”

“Bukan. Bukan begitu. Sungguh menjijikan sekali mendapatkan kesenangan dengan cara demikian.”

“Tapi Sudhana, aku benar-benar mencintaimu. Aku tak pernah menumbuk kembang sri gading untuk laki-laki lain sejak aku menemukanmu di bawah pohon itu.” Aku ingat bagaimana keadaannya saat kutemukan ia terkapar lemas di bawah pohon beringin. Ia tersesat dan membutuhkan semangkuk air untuk menyadarkannya.

“Dalam hidup ini, harus ada yang diputuskan, Wangi.” Ia pun melangkah dan tak menengok lagi ke belakang. Ia melangkah menemui cahaya yang kelak akan mengangkatnya ke atas. Seperti mimpinya saat itu.

Tak banyak yang aku temukan di tepi sungai Progo ini. Berabad-abad aku menjelma, menjadi saksi setiap musim dan angin, memperhatikan stupa dan arca-arca mengeras, membentuk kenangan-kenangan di dinding-dinding lembab dan bisu. Tak kutemukan di mana letak hidungmu yang sebenarnya, matamu, telapak-telapak suci yang mengajarkan banyak kebenaran-kebenaran alamiah dalam semesta. Oh… inilah nestapa dewa-dewi Sujata!

“Melamun Nduk?” aku tersenyum pada kusir itu dan membuang jauh lamunanku ke hamparan bukit Menoreh. Suara kaki kuda yang membawaku terus berketeplok melintasi jembatan sungai Progo.

“Gunadharma masih tertidur.” Gumamku.

“Ya, tentu lelah sekali ia membuat Borobudur.” Kusir itu pun mulai bercerita.

“Ia membujur dari timur ke barat. Nduk bisa melihat gundukan bukit di timur sebagai kepalanya. Kalau mau melihat jelas tubuhnya, bisa dilihat dari simpang tiga di desa Salaman.” Delman melaju menuju monumen mati itu. Dari kejauhan candi itu tampak megah dan indah sebagaimana bentuk mandala.

“Sendiri saja, Nduk, ke Borobudur?”

“Iya. Aku mencari seseorang di sana. Ah, tepatnya aku ditunggu seseorang di sana.”

“Apa teman Nduk itu asli orang sini?”

“Iya. Ia asli Borobudur.”

“Apa?”

“Susah menjelaskannya, Pak. Tapi aku mencari seorang kesatria yang terkurung dalam sangkar. Ada hal penting yang harus ia tahu tentangku sebelum ia benar-benar menjadi batu.”

***

Dhana, kakiku bergetar memasuki rumahmu. Apa aku sekotor itu? Apa kini aku pun sekotor itu hingga aku tak patut bertemu denganmu? Mungkin saja kau telah moksa. Tapi aku tahu, nafasmu masih tertinggal di sini, melekat pada batu-batu langkan, pada jaladwara, batu-batu kulit dan batur, pada stupa dan arca-arca. Dan pada puncaknya mungkin saja kau tak pernah sampai pada pari nibbana sebab kau tahu ada satu perempuan dari kasta rendah yang dulu pernah kau kecewakan. Apakah setelah ini kau pun masih berpikir perempuan itu adalah sang iblis yang menggodamu dan menjerumuskanmu ke lembah dosa?

“Ehm, mulailah dari kiri ketika kau hendak memasuki Borobudur agar tidak terlalu lelah.” Seorang pemandu mendekatiku. Aku tertegun bangun dari pikiranku.

“Mbak bingung? Ada yang bisa dibantu?” aku tak tahu, apakah laki-laki itu bisa menunjukanku di mana Sudhana.

“Mmm, apakah kau tahu di mana Sudhana berada?” aku tahu itu pasti pertanyaan yang konyol. Tapi ia tersenyum.

“Kau pasti tidak percaya kalau kuceritakan bahwa setelah aku hidup lagi aku selalu bermimpi tentang bunga padma raksasa. Aku pikir inilah tempatnya dan ia ada di sini.”

“Iya, benar. Borobudur ini berbentuk lotus atau bunga padma. Bisa juga dikatakan mandala atau teratai. Ini filsafat Budha dalam membangunnya. Halaman di bawah sana adalah laut yang berarti dunia bawah. Bangunannya sendiri adalah simbol bumi yang berarti dunia tengah. Sedangkan pusat stupa di atas sana dianalogikan sebagai langit atau dunia atas. Dan Sudhana…?” si pemandu terlihat bingung, seraya berpikir tapi kemudian ia terus menjelaskan banyak hal. Ia sangat lancar menjelaskan seluk beluk bangunan ini dan kami terus mengelilingi tingkat bawah candi dari arah kiri.

“Lantai satu sampai tiga adalah tingkat kamadhatu. Dinding-dindingnya bercerita tentang nafsu rendah manusia. Sebuah hukum sebab akibat yang merupakan teks suci ajaran Budha Mahayana. Lihatlah relief-reliefnya!” Kami berhenti. Seorang wanita tak berbusana hendak melakukan persetubuhan. Aku meraba arca dada perempuan itu. Ah, begitu bulat dan dingin. Perempuan telanjang itu menyimpan luka, menyimpan…. Tiba-tiba aku diliputi cahaya….

“Lepaskan kainmu, Pandu Wangi. Aku tahu ada sesuatu rahasia yang tersembunyi di sana.”

“Mengapa kau raba aku?”

“Sebab memang begitulah kau harus diperlakukan. Ah, kau begitu bulat dan dingin. Begitu….”

“Tunggu dulu, Sudhana.” Aku menarik tubuhku dari pelukannya.

“Bila memang begitu aku harus diperlakukan, itu artinya kelak kau harus menanggung sesuatu.”

“Apa? Apa maksudmu? Tidakkah kau sudah membasuhkan kembang itu ke….” Aku memeluknya.

“Aku mencintaimu, Dhana.”

Aku terhuyung beberapa langkah. Relief-relief itu seperti menghimpitku dan membuatku sesak nafas. Ia membangkitkan segala kenanganku tentang laki-laki yang tiba-tiba menjadi suci itu. Menjadi teks dan wacana yang jauh lebih mulia dariku yang seharusnya menjadi benda purbakala.

“Lho, kenapa Mbak? Mbak sakit ya?” aku menggeleng tapi mataku berair. “Kalau begitu mari kita lihat-lihat lagi yang lain.” Aku menurut mengikuti langkahnya. Tapi dada yang bulat dan dingin itu masih terasa melekat di tanganku seperti permen karet. Dada sebuah arca perempuan telanjang. Dingin dan bulat. Lengketnya seperti namaku. Seperti lendir dari kembang masa lalu yang sering kutumbuk. Ia menempel begitu lekat seperti dosaku. Dosaku yang tidak untuh milikku. Oh Sudhana, kau harus bertanggung jawab sebab dosa itu akan utuh bila kita bersatu.

Kepalaku bertambah pusing setiap kali melangkah, bahkan ketika menaiki tangga berikutnya.

“Tingkat kamadhatu ini adalah teks karmawibhangga. Teks bodhis yang memberlakukan hukum karma serta perbuatan baik dan buruk. Dari relief satu sampai seratus tujuh belas kita dapat melihat gambar-gambar yang menyimpang. Dari seratus delapan belas hingga…” ia tampak berpikir sejenak untuk mengingat angka-angka hukum itu sebab takut melakukan kesalahan menghitung.

“Ya, hingga seratus enam puluh. Kita bisa melihat akibat dari perbuatan menyimpang tersebut.” Katanya yakin.

“Karma menentukan nasib manusia saat ini. Apakah kau percaya karma?” tanyaku, pemuda itu menatapku. Dan seperti biasa wajahnya yang cerah itu selalu memantulkan senyum ramah.

“Tidak. Dalam ajaran agamaku tidak ada karma.”

“Apakah kau seorang muslim?” dia menggeleng lagi.

“Aku juga bukan seorang budhis, tapi aku percaya karma. Untuk itulah aku ke sini agar aku tak mengulang dan melanglang buana dalam tiap reinkarnasiku. Menjadi rupa-rupa yang sama.” Pemuda itu tampak bingung.

“Aku orang masa lalu yang hidup di masa kini.” Ulangku lebih jelas dengan sunggingan di bibir untuk meyakinkannya.

“Bagaimana kau menghargai perempuan meski kau tidak mencintainya dan ia kotor? Padahal ia mencintaimu setengah mati dan memberikan segalanya untukmu?”

“Aku tidak mengerti apa yang Mbak maksud?” kami melangkah meninggalkan kamadhatu.

“Tapi ibuku selalu mengatakan kalau perempuan itu memang seperti rusuk. Bila didiamkan ia semakin bengkok, tapi bila dipaksa lurus ia bisa patah. Dan kata ibuku, aku sebagai laki-laki harus menjaganya agar tidak semakin bengkok dan agar tidak patah.” Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang seharusnya dipikirkan Sudhana.

“Kata-katamu sama seperti resi itu, tapi kekasihku tidak mengerti.”

“Kau pasti sedang patah hati, ya?” ia tersenyum dan dari matanya ia berharap supaya aku menghapus kesedihanku atau mungkin berhenti berbicara ngawur.

“Ini tingkat rupadhatu. Alam antara. Stupa-stupa budha di sini tidak ada yang polos. Cobalah lihat!” ia menunjuk pada patung Budha tanpa kurungan. “Itu berarti tingkatan ini adalah tingkatan surga yang berkilau tetapi masih terikat akan rupa.” Aku meraba relief-relief Budha. Sungguh tekstur kuno, Dhana. Apakah kau tahu Dialah lelaki yang menemukan pencerahan itu setelah bertemu dengan Sujata?

Pemuda itu tersenyum. “Pada tingkat ini ada tiga teks yang dilukiskan. Lalitaristara, Jataka dan Avadana, serta Gandawyuha dan Bhadracari.”

“Aku tahu, aku pernah dengar itu.” Sebenarnya aku malas mendengar celotehan pemuda itu. Dia tidak menunjukanku di mana letak Sudhana. Tapi tiba-tiba aku merasa hatiku mulai nyeri. Jika Sudhana tak ada pada bunga padma ini, maka di mana lagi aku harus mencarinya. Telah berapa kali aku bereinkarnasi? Ribuan kuil telah aku masuki, lorong-lorong waktu telah aku lewati. Apakah aku harus menjelma lagi? Betapa lelahnya hidup untuk menghapuskan dosa kekasih yang hilang.

Sudhana, kau harus dengar aku. Inilah pengetahuanku selama kehidupanku dan penderitaanku yang berulang. Ada yang salah kau tafsirkan tentangku dan tentangNya. Setelah itu terserah kau mau apa. Asal kau terbebas dari samsara aku rela mati selamanya.

***

Ada cerita yang indah tentang Budha. Orang-orang bilang itu dongeng. Orang-orang bilang itu hikayat yang bijaksana. Tapi anakku, di telinga ibu itu terdengar sangat indah. Sebelum Lelaki itu duduk di bawah pohon pengetahuan, sebenarnya Ia telah meninggalkan empat orang istrinya karena dorongan pencarian. Ia mencari seorang guru tapi tak menemukan yang sesuai. Ia menyiksa dirinya dengan latihan asketik. Hingga habis tubuhnya, Ia pun keluar dari gua tempatnya bertapa. Ia melihat dunia yang terang benderang, merasakan embun pada rumput-rumput hijau, hutan yang indah, dan sungai yang mengalir tenang. Namun karena tipis tubuhnya, Ia pun hanyut terbawa arus. Ia terdampar pada suatu hari yang cerah dan mendengar suara merdu seorang gadis desa. Ia diam dan mendesahkan kata: Ah, betapa indahnya hidup ini ternyata.

Ia datang dengan tertatih-tatih, melihat gadis itu lebih dekat. Gadis itu menari dengan diiringi suara siter. Gelang kakinya bergemerincing setiap kali ia melangkah. Tubuhnya segar dan gemulai meliuk sesuai irama. Dan dari bibir mungilnya yang manis terdengar ia bernyanyi: … dawai siter akan putus kalau direnggang terlalu kencang. Kalau terlalu longgar suaranya akan sumbang. Marilah menari dan menari demi dentingan dawai….

Terakhir, ketika gadis itu membawakannya semangkuk susu, Ia mengetahui nama gadis itu adalah Sujata. Nama seorang perempuan yang memberikannya pencerahan. Dan ketika Ia duduk di bawah pohon pengetahuan, Ia pun tahu bahwa Ia telah menemukan kesadaran.

Tahukah kamu, anakku? Di bawah pohon pengetahuan itu sebenarnya ada iblis penggoda. Namanya Mara Papiyas. Seperti Luchifer yang mengintip di balik pohon apel itu dan membisikan sesuatu di telinga Eva. Sungguh perempuan itu tidak bersalah, bukankah sebenarnya pencerahan datang lewatnya? Orang-orang sepanjang zaman dan sejarah belajar darinya tapi mereka selalu salah paham tentangnya. Padahal mereka juga meniru peradaban yang diciptakan manusia pertama itu. Peradaban tentang bagaimana caranya mereka harus menggumuli perempuan.

Dan anakku, lihatlah mengapa Budha punya hola di kepala! Karena Ia telah lebih dulu bertemu Sujata ketimbang iblis itu. Ini pelajaran penting bagi umat manusia bahwa kita sama. Dan iblis itu hanyalah bentuk-bentuk lain dari diri kita. Seperti yin dan yang, ia tercampur tetapi tidak menjadi satu.

Anakku, ada lagi kisah yang indah. Suatu hari Ia dengan muridnya menyeberangi sungai. Ada seorang perempuan (yang sangat mungkin ia adalah seorang pelacur), yang juga ingin menyeberangi sungai itu. Sang murid menolak untuk menolong perempuan itu. Sebab dalam ajaran memang dilarang untuk bersentuhan dengan perempuan karena akan menimbulkan birahi. Tapi tahukah kau apa yang Ia lakukan, anakku? Ia menggendong perempuan itu hingga ke seberang sungai. Setelah lama mereka berjalan, sang murid yang masih kebingungan bertanya, “Bukankah haram bagi kita untuk bersentuhan fisik dengan perempuan karena akan mendatangkan petaka?” dan Ia menjawab, “Ia sudah pergi jauh dari kita, mengapa kau masih membawanya sampai di sini?”

Anakku, dari mana sebenarnya pencerahan itu datang? Dari pikiran atau dari jiwa? Maka ketika kau bertemu dengan kekasihmu, kenanglah aku. Dan ketika kau meninggalkannya, ingatlah aku. Jika kau bertemu dengan banyak perempuan lain, siapa pun mereka, perlakukanlah mereka seperti pengetahuan.

Pemuda itu menunjukan rentetan cerita-cerita tentang Budha. Teks-teks suci yang didisain secara visual pada relief-relief itu. Seni yang luhur.

“Begitulah gambar-gambar ini bercerita, Mbak.”

“Ibumu yang pintar bercerita. Tak semua orang yang melihat relief ini berpikir sejauh itu.”

“Ibuku penganut Budha yang taat, jadi ia tahu banyak. Tapi ia meninggal dua tahun lalu karena asam urat.” Aku tiba-tiba menjadi patung.

“Menjadi pemandu begini adalah suatu upaya melepas kerinduanku padanya.” Ia berjalan lagi dan menunjukan beberapa relief avandana dan cerita fabel.

“Apakah kau tahu di mana Sudhana berada?” aku mengulang pertanyaanku.

“Laki-laki itu?”

“Ia kekasihku. Ia hilang dan tak mau bertemu lagi denganku. Padahal aku harus membebaskannya dari penderitaannya. Setelah bertemu denganmu semakin jelaslah bahwa ada yang keliru antara aku dan dia.” Sesaat pemandu itu menatapku kosong. Aku tak dapat menebak seberapa dalam matanya. Ia mungkin tidak mengerti tetapi langkah kakinya tak berhenti.

“Itu.” Ia menunjuk pada rentetean relief.

“Itu relief bhadracari. Di sana ada sumpah Sudhana. Sumpah seorang pangeran muda dalam mencari kearifan tertinggi dan mengikuti bodhisattva.” Aku terpaku seperti arca-arca yang tak bisa bergerak itu. Ternyata Sudhana meninggalkanku karena sumpah untuk menjadi pembimbing spiritual bagi orang beriman dalam perjalanannya mencapai kearifan. Aku tak percaya. Jadi inilah yang membuatnya pergi dariku selamanya. Pilihan hidupnya itu? Oh resi, apa yang telah engkau perbuat pada kekasihku? Apakah karena kata-katamu itu ia mendapat pencerahan?

Menjadi orang suci adalah pilihan mulia dari pada harus bercampur dengan kekotoran. Tapi aku mencintainya dan ia pergi begitu saja.

Sudhana, mengapa kau meninggalkanku dalam keadaan seperti ini? Bereinkarnasi dan mengulang kehidupan yang rendah dan terus diliputi rasa bersalah, rasa kewajibanku padamu tentang sesuatu hal yang harus kau ketahui dari kata resi itu. Ketelanjangaku seharusnya membuatmu tahu bahwa kita benar-benar telanjang mengarungi hidup.

Aku meraba relief itu. Tanganku bergetar. Sungguh aku telah memasuki rumahmu terlalu jauh, Dhana. Tentu jauh-jauh aku datang ke sini menembusi waktu sebab rinduku tak terbilang angka-angka sejarah. Sebab harusnya kau pun mampu mendapat pencerahan itu.

“Sudhana….” Aku memeluk relief-relief itu. Air mataku lumer seperti hujan dharma. Si pemandu terdiam dengan kikuk. Sementara mendung baru saja menyelimuti. Beberapa wisatawan mulai memekarkan payung mereka.

“Mbak, gerimis.” Tidak. Dia bukan Sudhana, Sudhana tidak sekaku ini. Ya, pasti ia di atas. Puncak yang selama ini diidamkannya.

“Apa yang harus aku lakukan?” pemuda itu kebingungan karena ia pun tak membawa payung dan tak mengerti apa yang aku lakukan.

“Di atas, puncak terakhir. Arupadhatu.” Aku pun berjalan dengan tergesa. Menyusuri kiri bagian tengah candi ini mencari tangga dan tangga lagi. Aku tidak mengerti mengapa cuaca tiba-tiba berubah. Apakah ada sesuatu yang akan terjadi? Hatiku bergetar, aku berharap sebentar lagi akan bertemu dengan Sudhana.

Aku tidak tahu pemandu itu ke mana. Mungkin aku terlalu cepat berjalan padahal gerimis mulai sebesar peluru. Tapi anehnya aku tak takut terpeleset dan terjatuh menimpa batu-batu itu karena langkahku yang seperti berlari. Aku hanya merasakan hatiku bergetar.

Setelah tiba aku di puncak tertinggi, aku malah bingung. Aku berlari ke sana ke mari tak tentu arah dan bahkan menjadi gila sendiri sebab aku bertanya pada semua orang yang ada di situ, “Apakah kalian melihat Sudhana?” dan berteriak-teriak memanggil namanya. Hingga aku basah dan terduduk.

Baru aku sadari ini adalah tingkat kesadaran di mana dunia tanpa bentuk. Dan di sana, pada jajaran stupa-stupa berlubang, ada kekasihku. Seorang kesatria yang terkurung dalam sangkar dan aku harus membebaskannya. Aku pun berdiri dan mencari kaki kekasihku di setiap sangkar itu.

Satu per satu hingga kutemukan dan akhirnya kurasaan tanganku menyentuh kaki sebuah patung yang duduk bersila yang tiba-tiba menjadi hangat. Oh, dewi Sujata! Inikah Budha amithaba itu? Ia mengheningkan cipta di bawah pohon kesadaran. Air mataku mengalir.

“Oh Sudhana, apakah kau merasakanku? Maaf menyentuhmu. Tapi resi yang kau temui dulu mengatakan bahwa kau haruslah seimbang. Kini Dhana, hapuskanlah dosaku dan dosamu agar lapang jalanku dan jalanmu.” Tiba-tiba kulihat seberkas cahaya meyilaukan menghampiriku. Apakah itu cahaya yang pernah kau lihat dulu dalam mimpimu, Dhana?

***

Aku ada di bawah. Dunia bawah. Mungkin lebih bawah lagi. Tapi tidak seberapa jauh dari puncak kekasihku bernaung. Setelah kekasihku naik ke atas lewat cahaya yang pernah ada dalam mimpinya beratus-ratus tahun lalu, aku pun akhirnya menjelma kembang sri gading. Orang-orang percaya, manusia akan terlahir kembali selayak amal dan perilakunya.

Aku menjaga kekasihku setelah membebaskannya dari samsara. Tapi aku percaya cinta tidak seburuk seperti apa yang mereka pikirkan. Hidup bukanlah sekadar lautan penderitaan, hidup adalah pilihan. Dan ketika ia memilih mulia aku pun tetap mencintainya.

Aku moksa. Orang-orang, para wisatawan, dan delman bisa saja berlalu lalang tak menghiraukanku. Atau pula tak sengaja menginjakku dan mengencingiku. Aku maklum sebab aku tumbuh di tempat yang cukup ramai. Namun bagi mereka yang berkesempatan atau iba melihatku, sesaat mereka akan berhenti untuk memperhatikanku, lalu tahulah mereka bahwa akulah tumbuhan itu. Tumbuhan di mana perempuan-perempuan dulu menumbuknya, mengambil sarinya yang lengket untuk digunakan sebagai alat kontrasepsi.

Sebagai tumbuhan aku menjalani takdirku. Dan namaku senantiasa mengingatkanku pada sebuah kenangan bersama kekasihku….

Selembar koran pagi kota Magelang jatuh di hadapanku. Ah, ada berita bagi manusia pagi ini rupanya: Seorang perempuan muda tewas tersambar petir di puncak Arupadathu, Jumat sore kemarin.

***


Kelapa Gading
19- 20 Juni 2006

Catatan:

Arhat: Tingkat pertama dalam ajaran Budha yang harus dicapai untuk mencapai kesempurnaan manusia dan merupakan pintu utama dalam berkomunikasi dengan alam ritual. Tingkat selanjutnya adalah Bodhisattva dan Tathagata yang harus dilalui setelah reinkarnasi.

Reinkarnasi: Penjelmaan atau penitisan kembali makhluk yang telah mati.

Moksa: Keadaan atma (roh, jiwa) bebas dari segala bentuk ikatan dan bebas dari samsara. Dalam hidup berarti mendapat moral yang tinggi, kehidupan sempurna, penuh dengan kesenangan, memandang dirinya pada semua makhluk dan semesta. Dalam mati berarti menyatukan atma dengan Brahman sehingga atma tidak lahir kembali sebagai makhluk apapun (bebas dari samsara) atau keadaan abadi (sasvatisani).

Batu langkan: Balusterade, birai, anjung peranginan (balkon), pagar berupa kisi-kisi.

Jaladwara: Saluran air.

Pari nibbana: Nirwana atau surga.

Karma: Perbuatan manusia ketika hidup di dunia yang menentukan nasibnya kelak saat reinkarnasi.

Samsara: Derita atau sengsara.

Latihan asketik: Meditasi dengan tujuan menhan segala nafsu. Dalam hal ini juga menahan lapar, hanya memakan daun-daunan dan akar-akar pohon.

Lalitaristra: Relief yang menceritakan kisah sandiwara Budha turun ke bumi dan khutbah-khutbahnya.

Jataka dan Avadana: Relief yang menceritakan tentang masa lampau Budha, perbuatan kepahlawanan para orang-orang suci, dan cerita orang-orang baik serta fabel (cerita binatang).

Gandawyuha: Relief yang bercerita tentang pangeran muda dari India Selatan, Sudhana, dalam mencari kearifan tertinggi.

Bhadracari: Merupakan kelanjutan cerita dari relief Gandawyuha yang menceritakan tentang sumpah Sudhana dalam mengikuti Bodhisattva Samanthabhadra.

Arupadhatu: Tingkatan tertinggi dari candi Borobudur yang merupakan simbol dunia tanpa bentuk, tempat para dewa. Ketiadaan ornamen pada tingkatan ini melambangkan ketenangan jiwa yang terbebas dari bentuk, corak, dan ragam.

Halo: Lingkaran keabadian tanpa awal dan akhir. Cahaya yang menaunginya menunjukan ia telah mencapai pencerahan.

Dhyani Budha Amithaba: Merupakan sikap mengheningkan cipta sang Budha yang mengisyaratkan ketika meditasi di bawah pohon Bodhi. Patung Budha ini terletak pada tingkat Arupadhatu sisi barat.


Previous posts

Arsip

Google Docs & Spreadsheets -- Web word processing and spreadsheets. Edit this page (if you have permission) | Report spam