« Home | Kering » | Perca » | Kembang Sri Gading » | La Runduma »

Bulan Gendut di Tepi Gangsal

Cerpen Wa Ode Wulan Ratna

Saat itu hutan masih rindang, bau karet dan damar masih terasa dipenciuman seperti cat basah pada tembok-tembok bersemen di kota. Malam itu kutemukan kau sedang mencari bulan durjana yang nyaris penuh di tengah hutan. Matamu berkilau di malam lindap. Samar bulan yang kelabu menampakan dirinya dari balik pepohonan jelutung, pulai, kempas, rumbai, jernang atau berbagai jenis rotan. Malam pikuk menyiramimu, dara muda yang belia. Matamu sasar entah kemana, memuja kesuburan hutan dalam lindungan Tuhan.

“Serunting, jangan kau hendak kemana-mana kalau kau tak pulang bersamaku.”

“Tidak, aku menadahkan tangan, Rondang. Lihat hutan basah, hutan basah!” Dari jauh kuperhatikan gelagatmu sementara tanganku masih menyadap beberapa tubuh pohon karet untuk kutampung getahnya. “Hati-hati, aku tak mau kau dijerat ular atau dicekat kuau.” Kau tiada menyahut, tapi kulihat kau masih tercenung menatapi bulan sembab yang pucat itu. Dengan begitu kau masih dalam pengawasan mataku meski aku tak perlu setiap detik menemukan bayangmu. Bulan bisa saja dicolong kelam dan para tauke mengepul kayu-kayu hutan diam-diam. Tapi kau harus tetap berada di situ.

Aku pun mengalihkan pandanganku dan terus membeset batang-batang karet dengan belati, menampung getahnya dengan sayak yang kuikat kuat-kuat dengan tali. Kuhapus beberapa butir peluh di keningku. Deru angin lembubu membuatku ingat pada kata-kata Tumenggung Tarib, seorang pemimpin dari kelompok suku Orang Rimba dari Sungai Pakuaji di Desa Pematang Kabau pada kami orang-orang Talang Mamak, “Sudah saatnya kita bekerjasama melindungi hutan ulayat kita dari perbuatan orang-orang tercela itu.”

“Bagaimana caranya?”

“Kita mulai dengan pemetaan.” Berkatnya kami belajar menanam pohon-pohon karet ini yang dijadikan pembatas hutan ulayat kami sekaligus mempertahankan nilai-nilai kearifan adat Orang Rimba.

Namun tiba-tiba aku tersadar oleh denting sepi. Segala ciak miak alam pikiran dan alam hutan menjadi begitu sepi dan kelam. Entahlah, orang-orang Talang Mamak memang tak pernah membutuhkan waktu untuk hidup mereka sehingga aku tak tahu sudah berapa lama aku lena dalam pekerjaanku dan melupakanmu.

Aku limbung, keringatku kembali bercucur dengan deras. Aku langkahi segala rumput-rumput dan akar-akar pohon yang basah karena embun. Aku menguak hutan yang rimbun itu mencarimu. Menguak hutan seperti mimpiku menguak hutanmu yang basah ranum sebelum akhirnya sampai aku menemukan sarangmu yang hangat lagi lembab.

“Serunting!” aku memanggilmu sekali. Tak kudengar sahutan. Rongga-rongga mulai bersahutan di tubuhku, membiarkan udara keluar masuk tak terkontrol. Aku pun terus berlari ke segala arah dan penjuru memanggil namamu. Tapi hutan seakan mentah-mentah menelan suaraku.

Aku berlari menerobos hutan, mencoba berpikiran positif kalau kau telah kembali ke rumah. Tapi perasaan cemas terus saja meraja, hingga meskipun aku berhenti berlari langkahku tetap saja tergesa-gesa. Rasanya tak mungkin perempuan sepertimu berani melewati hutan seorang diri meskipun kau juga seorang Talang Mamak sejati. Aku kenal betul siapa kau. Aku tercungap-cungap.

Langkahku mendekati bunyi percik-percik air sungai Gangsal. Aku tak tahu, apakah sungai itu penuh sebab bulan nyaris purnama. Ketakutanku timbul lagi, tentu pikiran kalutku yang mengatakan kalau kau mungkin saja dibawa arus banjir bandang sungai itu. Namun tidak jauh dari tepi sungai yang memantulkan temaram bulan tempat aku terpaku, kudengar desah dan lenguh perempuan yang membuat bulu kudukku merinding. Pelan-pelan kulangkahkan kakiku pada sebuah bongkah batu kali.

“Serunting?” yang menyahut hanya desahan halus yang mengeram, mengejan. Begitu menyakitkan dan tertahan. “Serunting? Jawablah? Kaukah itu?” serta merta kulihat sosok bayang kelam keluar dari bebatuan dengan terburu-buru. Mengambil pakaian yang tersampir di batu dan hilang dengan lesat sambil terseok-seok karena tak terbiasa.

Malaikat bersijingkat. Malam itu aku menganga. Kemana perginya bayangmu, Serunting? Putri Talang Mamak yang tiada beremak? Kudapati bajumu berceceran di mana-mana dan kelaminmu kemana-mana. Di sana ada air mata dan darah. Kenapa aku bisa tahu kau menangis dan mengeluarkan darah? Sebab kau tak mengeluarkan kata-kata selain segukmu dan kau tak bisa berjalan sebab selangkanganmu luka.

Aku lupa, Serunting. Aku lupa! Belatiku tertinggal di belantara. Kalau kumau bisa kukejar laki-laki jahanam itu, kutikam ia dengan belatiku dan kubiarkan belati itu tercacak diperutnya. Biar ia mati meninggalkan karat. Tapi tak bisa kutinggal kau di balik batu itu meraba-raba malam mencari penutup tubuh yang tiada kentara lewat temaram bulan. Ah, sialan betul laki-laki itu! Berani-beraninya ia menanamkan berahi di pucuk ranummu.

Maka aku menuntunmu yang tiba-tiba menjadi patung. Aku tak mau mendengarkan apa-apa dan memang aku tak sudi sebab mataku luka karena air mata dan hatiku mengeluarkan darah.

***

“Sudah seharian ini Serunting telanjang.” Kata Suhemi, ia menyuguhkan aku minuman pada cawanku. Aku menggaruk kepalaku dan melihat ke arah Batin Gigih, Bapaknya. Laki-laki paruh baya itu asyik dengan tembakaunya. “Kau apakan dia semalam, Ndang?” Tanya Mak Cuan, istrinya. Aku menatap mata Suhemi yang tampak cemas. Perempuan itu sebaya dengan Serunting. Dan Serunting sudah seperti saudaranya sendiri. Mereka semua adalah keluarga yang mengurus Serunting sejak masih bayi. Aku pun menggeleng kuat-kuat. “Tidak aku apa-apakan, Mak. Mungkin dia terkejut lihat Kuau, ada burung seperti itu.” kataku, sebab Serunting memang belum pernah meliahat Kuau. “Ah, macam saja!” Peremuan tua itu menggeleng-geleng dan tersenyum padaku sebelum akhirnya ia masuk dapur bersama Suhemi.

“Apa hutan kita dalam keadaan genting, Rondang?” Tanya Batin Gigih memulai upacara sarapan pagi. Laki-laki itu masih mengantuk ia tersadai di balai yang beralaskan anyaman tikar dari daun nipah. Matanya yang nanar menatap langit-langit bubungan atap dari rumbai kering yang disanggah kayu-kayu kuat.

“Hutan leluhur baik-baik saja kurasa. Semalam pun sekalian kuperiksa.”

“Tetap saja kita mesti waspada. Sudah sering terjadi penebangan liar di Taman Bukit Tigapulu ini. Mereka bisa saja merambah ke hutan ulayat kita meski telah kita pagari dengan karet.”

“Ya. Nanti aku akan beri tahu penduduk Talang Mamak yang lain agar senantiasa terus berjaga-jaga.” Batin Gigih mengangguk-angguk. Lama kami berdiaman dan pikiranku kembali melalang buana menyusuri malam di tepian sungai Gangsal. Di sana kulihat bulan bercermin pada airnya yang mulai mengeruh. Memberi petanda pada sesuatu yang rawan dan belum dijamah siapapun. Pada sesuatu milik perempuan bernama Serunting. Aku tiba-tiba mendengar dadaku bergemuruh dengan sendirinya sehingga aku menyembuyikan wajahku karena malu suara itu akan didengar Batin Gigih. “Kenapa? Apa yang kau pikirkan, nak?” aku terpergoki.

“E…, anu….”

“Rondang, Rondang!!! Pak Batin Gigih, Makkk….!!” Serta merta aku dan Batin Gigih loncat dari kediaman kami saat mendenggar suara Sanggo di luar.

Ada apa?” Mak Cuan juga keluar dengan tergesa dari dapur disusul dengan Suhemi. Sanggo langsung nyelonong masuk begitu saja. Ia langsung mereguk air dari cawanku. “Anu, itu… itu….” katanya terbata-bata. Ia mengusap air yang belepotan di sekitar mulutnya. “Ya, coba bawa bertenang dulu.” Kata Mak Cuan menenangkan. Sanggo duduk di tempatku duduk. Aku berdiri di antara Batin Gigih dan Mak Cuan. Suhemi bersembunyi di punggung emaknya seperti anak kecil. Ia membenamkan wajahnya di pundak orang tua itu dengan hanya menyisakan sepasang matanya yang memancarkan kegelisahan. “Ada buldoser, Mak. Lima. Lima.” Sanggo mengacungkan kelima jari tangan kirinya.

“Di mana?” kataku dengan nada tinggi. Sanggo menunjuk ke arah hutan karet.

“Kurang ajar mereka. Kapan datangnya?” aku bertatapan dengan Batin Gigih.

“Tidak tahu.” Sanggo menggeleng kuat-kuat. “Orang-orang sudah ramai di sana.

” Katanya lagi. “Patih Laman juga ada?” Tanya Batin Gigih.

“Tidak tahu.” Sanggo menggeleng lagi. Dan tanpa banyak omong lagi aku dan Batin Gigih langsung keluar rumah begitu saja. Sanggo pun menyusul juga. Dari luar masih sempat kudengar raungan Serunting yang menyakitkan ulu atiku di dalam sana.

“Alamak, cepat pakai bajumu, Ting. Apa kau tidak malu itu kau punya anu kemana-mana?”

***

Laki-laki itu masih muda. Kulitnya matang dan ia gagah. Kemejanya yang berwarna abu-abu polos rapi tersetrika telah layu dibubuhi keringat. Ia bertolak pinggang. Satu tangannya merongoh saku celananya.

“Ini sesuai prosedur dari pemerintah. Pohon-pohon yang kami tebang, jelas!” katanya tegas. Penduduk Talang Mamak yang berkumpul kembali gaduh. “Tidak bisa begitu, Pak.” Patih Laman menengahi.

”Lho kenapa? Sudah ada perundang-undangannya toh?”

“Ya memang. Tapi pohon yang ditebang berdiameter di bawah enampuluh senti. Padahal ketentuannya harus di atas itu.” Yang lain bersorak mendengar penjelasan Patih Laman. Patih Laman sudah seperti sepuh atau puak bagi penduduk Talang Mamak Sungai Gangsal. Ia sangat disengani dan dihormati karena kebijakannya dan kesantunannya.

“Dan lagi penebangan ini sudah kelewatan karena merambah kemana-mana sampai ke tanah ulayat kami.” Batin Gigih tiba-tiba angkat bicara. Penduduk mulai kisruh lagi membenarkan.

“Sabar!” ujar Bapak muda itu. “Kami mohon maaf kalau ada pohon-pohon muda yang tak sengaja tertebang. Masalahnya, pohon itu memang menghalangi jalan untuk buka lahan.” Katanya lagi.

“Dulu ada seratus pohon sialang kami yang ditebangi. Tapi tiada ganti rugi. Sekarang kami tak lagi mau kehilangan pohong sialang yang tinggal sedikit.” Celetuk Sanggo. Aku masih diam saja melihat laki-laki bergaya formal itu. Tubuhku menahan keringat dingin yang hendak mengucur. Sanggo menyenggol lenganku memberi isyarat agar aku tidak bengong saja dan agar aku melakukan sesuatu.

“Begini, Pak. Perambah hutan pada umumnya adalah perusahaan yang mengantongi surat izin menebang kayu.” Kataku pelan-pelan menahan emosi yang tidak jelas rimbanya, sebab laki-laki itu….

“Ya, kami punya surat-surat itu kalau mau lihat.”

“Bukan begitu masalahnya, Pak. Ini tanah ulayat kami.”

“Wah, kami tidak tahu, ya. Sebab kalau tanah ini milik tuan-tuan semua harap bisa tunjukan sertifikat tanahnya.” Tiba-tiba saja telingaku menjadi panas. Kalau tidak Patih Laman yang menahanku tentu sudah kuseruduk orang muda itu. “Pak, hutan ulayat ini kami miliki turun temurun. Memang tanpa sertifikat, tetapi jelas batas-batas hak kepemilikannya. Diakui kepala adat sampai tingkat kecamatan.” Teriakku. Penduduk mulai ikut berteriak-teriak lagi. Patih Laman dan Batin Gigih sibuk memberi isyarat tenang.

“Begini saja, Pak. Bila Bapak tidak bisa memperlihatkan surat izin penebangan terhadap tanah kami, maka silahkan bawa pulang buldoser-buldoser ini.” Ujar Patih Laman masih dengan santun. “Dan ingat, kami ingin buldoser-buldoser ini pergi sebelum senja. Sebab bila tidak, Bapak akan berurusan dengan pemerintah daerah dan pusat.” Ancamku menutup kerumunan pagi itu.

***

Aku menatap Serunting yang terduduk di balai hanya diselimuti selembar kain. Ia seperti sakit karena menggigil. Matanya yang polos itu menatapku juga. Kemana arahku bergerak, bola mata itu turut bergerak.

“Kenapa, Ting?” ia tidak menyahut. Kulihat bibirnya kering dan terkelupas.

“Matamu indah, Ting. Seperti bulan gendut yang dulu pernah kau ceritakan di tepi sungai Gangsal.” Aku tersenyum. Tapi bibir pucat dan pecah itu tak juga menyunggingkan senyum balasan seperti yang sudah-sudah bila aku sedang memujinya. Aku memperhatikan dalam-dalam wajah Serunting. Wajahnya yang tirus tidak seperti wajah Suhemi yang bersih meski kutahu kulit perempuan Talang Mamak tidak seputih kulit orang-orang kota. Diamnya seperti batu. Polos dan membeku, hingga meskipun ia tak bergeser, orang-orang yang melihatnya akan merasa iba.

“Jangan sedih. Nanti kalau kudapat orangnya akan kubunuh dia.”

“Rondang, masih panaskah kepalamu? Siapa yang mau kau bunuh?” Suhemi keluar dari bilik dapur. “Bukan siapa-siapa. Itu, orang yang punya buldoser.” Sekilas masih kutatap Serunting yang masih tak bergeming sebelum akhirnya aku melangkah menuju gentong air. Aku menciduk airnya dengan sayak dan mereguk tuah cinta dari tempurung kelapa itu.

“Sepertinya Serunting ada yang mengogam.” Kata Suhemi sambil memandangi Serunting dengan saksama. “Apa?” aku pura-pura terkejut.

“Ada yang mengogam, Ndang. Aku takut ia jadi gila karena kena guna-guna. Ia tak mau pakai baju dan tak mau mengeluarkan kata-kata.” Aku diam saja.

“Kepalaku rasanya mau meledak. Aku mau ke tempat Pak Tatung dulu.” Aku pergi begitu saja meninggalkan Suhemi dengan sepasang matanya yang selalu kumengerti kalau ia mengharapkanku untuk dapat meluangkan waktu mengobrol dengannya.

Pak Tatung sebenarnya bukan orang Talang Mamak. Ia berasal dari Dusun Tuo Datai di desa Rantau Langsat. Namanya sebenarnya adalah Ongko Tarif. Tapi orang-orang akrab memanggilnya Pak Tatung. Ia mendirikan sanggar belajar Datai di Talang Mamak untuk mengajarkan orang-orang Talang Mamak bahasa orang bule. Sanggar itu mendapat sarana dan dukungan dari pemerintah program konservasi harimau Sumatera. Ia sudah kuanggap seperti bapakku sendiri. Ia tambun dengan barut muka jenaka dan rambutnya sudah dihiasi bulu masu yang lumayan banyak mengingat usianya yang mulai senja. Istri Pak Tatung sudah lama meninggal, dan ia tak punya anak selain aku yang dianggapnya anak sejak empat tahun lalu.

Waktu istirahat mengajar. Aku mengetuk pintu dan ia yang membukakannya sendiri. Ia punya tabiat yang aku suka, menyapa anaknya sendiri dengan tabik orang asing, “Good afternoon, son.”

“Yes.” Jawabku. Ia selalu tersenyum dengan jawabanku.

“Wajahmu murung, nak. Aku sudah dengar cerita tentang buldoser itu dari Sanggo.” Katanya. Sanggo adalah teman dekatku sekaligus penyebar berita terbaik. Sebenarnya ia orang Talang Mamak Tiga Balai bukan dari sungai Gangsal. Tapi itulah teman, ia lebih suka tak pernah jauh dariku sebab kami senasib, sebatang kara.

“Ya, tadi penduduk juga sudah rapat di rumah Patih Laman. Orang-orang buldoser itu mau buka lahan untuk kebun kelapa sawit.”

“Lalu?”

“Tentu kami tidak setuju. Itu kan tanah ulayat kami. Rencananya Patih Laman besok mau lapor ke pemerintah daerah. Kalau perlu juga pemerintah pusat. Kami mau minta dukungan dan perlindungan.” Kataku mulai berapi-api lagi. Pak Tatung tertawa.

“Tenang Rondang…, kau ini kenapa? Seperti orang cemburu saja.” Ia memperhatikanku. Aku membuang muka agar ia tak tahu wajah burukku.

“Pasti ada seusatu yang lain selain masalah itu.” Aku diam. Aku diam seperti Serunting yang menjadi batu.

“Pak, aku tahu orangnya. Aku tahu itu pasti orangnya. Hanya saja aku tidak tahu harus berbuat apa.” Aku mulai membiarkan wajahku terlihat gelisah seperti sebagaimana seharusnya. “Orang siapa?” Pak Tatung tampak bingung. Senyumnya lesut dan dahinya berkerut. Aku dapat melihat urat-urat wajahnya menegang.

“Orang yang memperkosa Serunting, Pak!”

“Apa? Serunting diperkosa?”

***

“Patut kita tiru orang Talang Mamak dari Desa Durian cacar.” Sanggo bercerita. “Satu pohon duren saja ditebang, ada sanksi adatnya. Jika tidak bisa diselesaikan dalam satu kelompok, maka akan diselesaikan penghulu lainnya sebagai masalah besar bersama. Ck!” Sanggo terus saja berbicara ini itu, padahal setengah mati aku ingin melupakan bayangan malam jahanam yang telah lalu. “Heh, Rondang? Kenapa mukamu? Tenang sajalah, sebentar lagi orang-orang buldoser itu pergi. Kita mandi saja dulu di sungai Gangsal. Sekalian mengintip gadis-gadis perawan.” Ia tersenyum dan terkekeh-kekeh. Sanggo selalu percaya diri tertawa dan tersenyum lebar menunjukan giginya yang kuning dan tidak rata. Memamerkan dua gigi depannya yang rumpang. Aku meliriknya, tapi aku tak bisa marah padanya. Pikiranku terbelah dua dan bercecer kemana-mana, sedang perasaanku berantakan berkecai-kecai.

“Mari mandi!” ajaknya ketika kami mulai sampai di tepian sungai Gangsal.

“Tidak bisa.”

“Ya sudah, tidak usah mengintip.” Rayunya. Aku meliriknya dengan tatapan badik. “Ah, kau tidak percaya padaku rupanya. Biarpun aku suka mengintip, tapi aku masih bujang bedengkang.”

“Bukan begitu, tak ada yang mengawasi orang-orang itu pergi.” Kataku lalu meninggalkannya bergegas kembali ke hutan.

***

Senja kasip. Ia berjalan tergesa, terseok-seok karena tak terbiasa. Buldoser-buldoser itu pergi melewati jalan besar. Alat berat itu menyisakan suara deru yang membisingkan telinga. Dan laki-laki itu sekejap menatapku membuat bayangannya berkelebat sambil membuang putung rokok dan pergi dengan tatapan badik yang tidak mengenakan. Matanya meninggalkan luka di hatiku.

Aku memperhatikan tanah tak bertumbuhan di tempatku duduk untuk mengamati kepergian mereka. Ada busut, longok tanah sarang anai-anai dan semut. Apakah di sana juga bersembunyi lipan yang berkelamayar dengan air liurnya yang penuh cahaya? Aku tak bisa mafhum pada zaman yang lintang pukang ini, sebab hutan yang hanya bisa diam tak dikasihi menanam ranjau dan dendam hingga ke akarnya. Betapa payah hayat orang-orang Talang Mamak, hutan mereka, Hutan Puako, bisa tak ada lagi karena dijadikan lahan kelapa sawit. O… Emak! Alangkah, hutanmu kini diingkari undang-undang!

Laki-laki itu, tak hanya cukup dihujat dengan sumpah seranah. Aku berdiri, melangkahkan kaki dan pergi. Mereka hilang dan aku ingin raib. Tapi laki-laki itu, dengan pakaian kotanya yang rapi, ingin kujagal kepalanya karena telah melumerkan rahimmu, Serunting. Ini bukan hanya kemarahan suku Talang Mamak, tapi juga ini menyangkut dendam cinta yang mulai membengkak. Aku mencium maung dari wajah laki-laki itu. Ah, ia bangkai sebelum mati karena prilakunya yang amoral.

Aku menelusuri hutan. Deretan pohon karet rapi merekah. Batang, ranting, dan daunnya meninggalkan sosok bayangan yang bergoyang-goyang ditimpa sinar senja yang mulai tipis. Aku meniti jalan menuju sungai Gangsal dan melupakan kalau aku pernah meninggalkan belatiku di antara pepohonan karet saat bulan sedikit lagi sempurna.

Malam menaiki puncaknya. Kutemukan bulan penuh sudah. Sungai Gangsal meliuk seperti seekor ular yang berjalan di atas bebatuan, terjungkal-jungkal ia dengan suara alirannya yang rinai. Sungai yang bearkhir di Desa Sancalang ini adalah riwayat hidup kami. Ia menyimpan kebutuhan yang tak terperi. Usai hutan, di sini ada ikan dan udang. Ada minum, mandi, dan mencuci. Ada hawa dan ada nyawa, tempat memupuk kesuburan tanah. Aku memeluk tubuhku, berjongkok menatap bebatuan yang bisu. Setiap bayangan yang dilewatkan desau angin selalu membuatku dihantui perasaan cemas.

Dengan malam ini, maka sudah dua hari Serunting telanjang. Sanggo bilang ia mulai gila, hanya meraung bila disentuh kulitnya. Suhemi bilang ada yang mengogamnya. Mak Cuan bilang ia kemasukan setan. Tak ada yang tahu mengapa Serunting demikian kecuali malam dan penjaga-penjaga malam.

Waktu berkelebat. Seonggok tubuh menginjak rerumputan dan semak, bersembunyi dibalik pepohonan.

“Serunting!” aku nyaris berteriak. Terpana melihat perempuan kusut masai itu di sana. “Dengan siapa ke sini?” ia tidak menyahut. Dan memang tak ada lentera yang ia bawa sehingga sosoknya yang licin itu hanya terbias sinar purnama. “Mengapa kau ke sini sendirian?” tanyaku haru. Aku copoti bajuku agar ia pakai, tapi ia membuangnya jauh-jauh entah kemana. Aku merasa bersalah atas kejadian lalu. Kulihat ia menadahkan tangan dan mengingatkanku pada saat ia menegadahkan tangan di hutan kemarin. Apakah ia ingin mengatakan hutan basah?

“Mari pulang, Ting. Tak baik kau makan angin malam-malam.” Aku menarik lengannya. Tanganku bergetar, tapi ia tiada mau melangkah. Malah mengeluarkan suara rintih yang memilukan hati. “Ndang, itu Emak, itu Emak!” Ia menunjuk bayangan bulan yang hancur tak lagi rupawan yang terbias di sungai Gangsal.

“Kau bicara?”

“Lihat, itu emak! Aku dapat emak. Emak ketemu, emak ketemu, Ndang!” Ia mulai bersorak. “Bukan Ting, kau tak punya Emak. Emakmu Mak Cuan.”

“Itu emak.” Ia ngotot.

“Bukan, itu bulan.”

“Bulan? Bulan gendut?” aku mengangguk. Tiba-tiba wajahnya memelas menjadi begitu pedih. “Oh bulan gendut, kenapa kau telanjang. Apa kau tidak malu anumu kemana-mana?” ujarnya meniru suara Mak Cuan padanya. Aku iba menariknya pulang. Tak kuat aku menahan nanah di mata yang mulai lumer.

Dulu sering kami mengobrol di tepian sungai ini ketika purnama sedang naik daun. Ia bilang Mak Cuan pernah cerita padanya kalau Emak kandungnya menjelma bulan di tepi Gangsal. Sebab dulu sebelum ia lahir, Emaknya sering ke Gangsal saat purnama. Berlindung dibalik semak-semak dan batu-batu, berpukas sambil menggesek-gesekan pukasnya seperti anjing.

***

Patih Laman sudah berangkat ke kota bersama beberapa laki-laki penduduk Talang Mamak Sungai Gangsal termasuk Batin Gigih. Aku melihat Mak Cuan sedang meramu obat-obatan dari akar dan daun-daun. Mungkin kondisi Serunting tambah memprihatinkan. Tiba-tiba kembali kudengar teriakan Sanggo memanggil-manggil namaku dari luar. Aku, Mak Cuan, dan Suhemi cepat-cepat keluar. Di bagian selatan hutan kulihat asap hitam mengepul dan penduduk mulai panik.

“Sanggo, ada apa?” teriakku menghantam gemuruh suara-suara yang lari kocar-kacir. “Ada kebakaran hutan, Ndang.” Katanya tercungap-cungap. “Di mana?” aku juga mulai panik. “Di Hutan Puako, Ndang. Apinya besar. Besar sekali. Sulit dipadamkan.” Katanya lagi terbatuk-batuk, sebab asap tebal mulai meyebar dan memerihkan mata.

“Sialan betul itu orang! Tidak tahu diri! Cepat Bantu aku. Panggil juga orang-orang yang lain. Mak, orang-orang perempuan dan anak-anak tolong diungsikan dulu ke desa sebelah.” Aku lari tunggang langgang, meneriaki bantuan menghampiri sungai Gangsal. Di sanalah letaknya hidup terakhir. Kami menimba-nimba airnya seperti bayi yang memerasi susu emaknya. Waktu berlalu, tapi api tak kunjung padam. Matahari sengit menyayat-nyayat kulit membuat luka semakin menganga dan tak mau kering. Nantinya ada sesuatu yang bopeng di tanah kami.

***

Mungkin kini damar akan sulit dicari. Dan pohon-pohon karet tak lagi meninggalkan getahnya untuk diramu menjadi ban dan semacamnya, sebab baunya saja sudah tak terasa. Semuanya ranap. Gosong. Tanah itu menjadi hitam dan di atasnya mengeluarkan asap seperti miasa pada tanah berawa. Aku memaki. Orang-orang buldoser itu menganggap cuai apa yang kami miliki dan kami jaga. Tak tahulah Serunting, bagaimana rasanya dicambuk. Apakah seperti hatiku kini? Melihat hutan yang tiada lagi bernyawa seperti melihatmu yang menjadi batu di tepi Gangsal.

Tahukah kau Serunting? Tak ada senja sore ini. Senja habis dilumat musim. Sampai mana habis letak kata cabaran untuk dirasa? Tahukah kau Serunting? Dari ujung atap rumbia atau nipah mereka membangun perabung di rumah-rumah mereka agar senantiasa terlindung dari tetesan hujan. Kini Serunting, hujan menjelma cinta. Dan malam ini tiada akan kau temukan bulan gendut di tepi Gangsal saujana matamu memandang.

Serunting, dulu aku mencintai matahari, tapi kini aku berharap hujan setiap hari turun tanpa henti. Biarkanlah mata-mata mereka lengah dan beristirahat barang sejenak, menikmati lena derai-derai air yang turun dari langit. Sesaat mereka pun bisa mengintip dari ceruk melihat batu kali atau kau yang tengah berdiri melakoni benda mati.

Serunting, kau pun bisa telanjang di tengah hutan. Telentang sambil menengadahkan kedua tanganmu seperti waktu itu. Kau berdecap-decap, mendesahkan doa paling kasmaran mengharapkan kerendahatian Tuhan menurunkan hujan. Dan aku bisa lengah memantaumu sebab Ia akan menjagakanmu untukku saat aku menyayat batang-batang karet. Kini hutan telah basah, Serunting!

Kuperhatikan kau. Tubuhmu yang basah hujan dan masih berdiri di tepi Gangsal yang kian menderas itu di mataku bagai berlumur anggur. Aku sebenarnya ingin menanam benih di pangkal pahamu untuk kelak kau sebar di lahan-lahan gosong itu. Itulah lahan tersubur yang akan kugarap sebelum tidur, yang tidak dilalui undang-undang legal meski mungkin kau mandul. Sebab kau pun tahu, hutan yang tandas itu butuh benih yang akan membuatnya rimbun kembali.

Kulihat kau. Kau masih terpaku di situ. Sudah tiga hari kau telanjang.

“Serunting, cepat pulang! Astaga, apa kau tak malu pukasmu kemana-mana, hah?” kataku mulai gusar diambang kesedihanku.

“Dasar Pukimak!”

***

Jakarta, 6 September 2005
Kado untuk Marhalim

Catatan:

Kuau: sejenis burung yang dilindungi (hidup di Malaysia, Sumatera, dan Kalimantan), burung kuang, berkaki panjang dan kuat, mengais dan membalik-balikan tanah mencari makanan yang berupa biji-bijian, keong, cacing, serangga, dsb, berbulu indah, bersarang di atas tanah dengan dua atau tiga butir telurnya. Tidur pada cabang-cabang pohon yang tidak terlalu tinggi.

Sayak: separuh tempurung, tempat air minum terbuat dari tempurung kelapa.

Ulayat: Tanah warisan leluhur turun temurun.

Tercungap-cungap: mengap-mengap.

Tercacak: terpancang tegak.

Tersadai: terbaring dengan kaki terlunjur.

Puak: semacam tetua atau sepuh

Mengogam: menggunakan ilmu sihir untuk membuat orang gila.

Tabik: salam

Rumpang: ompong.

Kasip: telambat atau lewat waktu.

Badik: pisau belati (tajam)

Maung : bau busuk, rasa atau bau yang memualkan.

Berpukas: telanjang.

Pukas: kemaluan perempuan, celah pada permukaan luar kemaluan perempuan.

Ranap: rata dengan tanah.

Miasa: racun yang keluar dari tanah rawa.

Cuai: remeh, tidak penting, tidak berharga.

Cabaran: sabar, kesabaran.

Perabung: atap berlapis dua yang menutup bubungan (puncak) rumah agar tidak kemasukan air hujan.

Pukimak: pukas emak, sindiran tidak senonoh.

Tauke: pencuri/penebang kayu hutan diam-diam pada malam hari.

Mengepul: mengumpulkan.

Google Docs & Spreadsheets -- Web word processing and spreadsheets. Edit this page (if you have permission) | Report spam