« Home | Selembar Bulu Mata Elena » | Peluru-Peluru » | Cari Aku di Canti » | Bulan Gendut di Tepi Gangsal » | Kering » | Perca » | Kembang Sri Gading » | La Runduma »

Perempuan yang Kencing di Semak

Cerpan Wa Ode Wulan Ratna

Aku ingin jadi daun, jadi ranting, jadi embun dan angin. Sekadar menyadap bau-bau rerumputan siangik, paku rangsang, dan ilalang menguning. Mengukuhkan pohon-pohon sialang, sikaduduk, kempas, rumbai dan batang-batang sungkai.

Dini menyedapkan langkahnya, melompati lumpur, becek, lalu hilang dibalik semak belukar, di antara pepohonan hutan yang mulai meradang. Diam-diam aku mengikutinya dari belakang. Aku tahu perempuan berkerudung kuning itu hendak menggunduli hutan dengan caranya. Mengangkat kainnya tinggi-tinggi hingga betisnya yang putih lencir itu mengangai alam.

“Oi, aku kehilangan pohon-pohon itu.” Diam-diam kudengar ia mengumpat. Umpatan perempuan yang kadang-kadang terdengar seperti ngengat. Aku terjongkok diam di antara pepohonan liar yang bersisa. Dari sana aku mengintip ia berjongkok, mengangkat kainnya tinggi-tinggi hingga aku dapat melihat paha dan selangkangannya seperti menjelajah hutan baru. Aku menelan ludah.

“Hoi, setan! Tauke sialan!” teriaknya, sebongkah batu nyaris mengenai wajahku. Dengan perasaan naas dan gemas aku lari tunggang langgang.

***

Suatu malam aku pernah melihat Dini membawa pelita teding ke dalam hutan yang setengah basah. Bukan untuk membakar tanah kami sendiri, tapi untuk kembali ke semak. Ya, biasanya kembali ke semak selain untuk mengambil wudhu di kali.

Malam-malam itu memang sepi, tapi terdengar ramai sekali. Setiap malam di kampung kami memang seperti itu. Sebuah dunia baru yang seperti alam gaib tengah didirikan. Kampung yang lelap, tapi di tengah sana, belantara yang mulai keropos dan semak-semak yang menyimpan kelamin-kelamin untuk menuntaskan hajatnya, akan terdengar suara kepulan, kayu-kayu terpangkas, dan pohon jatuh tiba-tiba.

Pinggang yang masih kecil itu dengan perut yang mulai membuntal. Andai benih itu milikku, tentu sudi sekali aku mencari pekerjaan lain yang halal untuk membuatnya subur seperti hutan sediakala.

“Ju, kau habis dari mana?” Monda datang tanpa kusangka-sangka. Aku menghapus peluh dari keningku. Ia menawarkan rokok, aku langsung mengamit satu di bibir. Ia tersenyum dan mematikkan api untukku.

“Jangan kau bilang kalau kau habis mengintip perempuan itu lagi,” ia menahan tawa. Sedang mengejekku.

“Pah, bukan urusanmulah itu. Pernah kau lihat perempuan lain selain ibumu kencing di semak-semak?” Monda tertawa.

“Nanti dulu,”

“Ya, tapi ibuku punya jamban di rumah. Tidak tinggal di rumah lanting untuk bernaung.”

“Ah, kau tidak mengerti bagaimana seninya perempuan kencing di alam terbuka.” Kataku sedikit kesal. Monda mulai menahan-nahan tawanya.

“Sudah dapat berapa pohon?” tanyaku selanjutnya hendak melupakan perempuan pias itu.

“Sudah tujuh yang tertebang.”

“Yang besar-besar?”

Ada tiga yang masih di bawah umur. Tapi Mad Nawar marah-marah. Katanya masih terlalu sedikit dan harganya akan tidak sesuai. Kita butuh pohon-pohon yang segar seperti sialang dan rotan.”

“Lebih banyak lagi?”

“Ya, semakin banyak semakin baik. Kita bisa mendapat keuntungan yang lebih besar.” Aku mengendus, menghembuskan asap tembakau itu jauh-jauh. Memperhatikan asap itu menguap bersama embun sebab sinar matahari jadi begitu tajam ketika ia semakin meninggi.

“Di mana kira-kira lokasi yang banyak pohon-pohon itu?” aku menatap Monda rapat-rapat. Ia sedikit tertegun dan mungkin hidungnya mampat lagi. Ya, hidungnya memang mampat sebelah, dan ia selalu kesulitan untuk bernafas. Oleh sebab itu orang-orang yang melihatnya pasti menyangka ia bernafas dengan mulut. Mulutnya selalu terbuka, sebab selain mengeluarkan asap rokok juga mungkin ada udara sisa.

“Aku sudah dua hari memantaunya. Tidak jauh dari sini.”

“Apa? Keluar dari wilayah ini?” aku nyaris memekik. “Jangan gila, kita tak punya surat izin. Kau mau tertangkap basah?”

“Sabar, Raju.”

“Sabar? Aku sebenarnya sudah mulai muak untuk menambah daftar kejahatan lagi dalam hidupku. Jangan suruh aku membuat surat izin palsu.” Hatiku bergemuruh, tiba-tiba pikiranku kembali pada emakku.

“Lho, tentu tidak perlu. Sudah ada para tauke yang mengepul kayu hampir setiap malam di sana. Kita juga harus bersaing.”

“Di mana?” tanyaku akhirnya dengan nada datar dan tak memolesinya dengan ekspresi apa-apa. Tangan Monda mengarah ke arah timur, tempat biasa matahari memaksa ngengat bangun untuk menghilangkan malam-malam jahat.

Di timur itu sebenarnya aku ingin mengepul sinar matahari yang pecah-pecah. Memungutinya dan menaruhnya dalam karung goni. Sebab sinarnya yang menyengat itu mendapat restu rerimbun untuk meneduhkan, meski ada beberapa yang tanggal dan mulai meradang. Ya, di timur itu sebenarnya aku ingin menjelajah hutan yang lain. Memang bukan yang perawan tapi begitu rawan.

Ah, hutan itu Monda? Di situlah tempat biasa aku mengintip seorang perempuan muda tengah mengencingi tanahnya sendiri.

***

Aku ingat perempuan tua yang menjadi emakku itu. Di depan jendela ia menjungulkan kepalanya. Menatap bintang yang semakin kelihatan sebab lahan langit semakin meluas tak tertutup pohon-pohon yang mulai jarang.

“Kita mendurhakai tanah kita sendiri, nak. Menjadi pencuri di rumah sendiri.” Matanya sabak karena menangis.

“Tak sudi aku melihat kau bekerja seperti itu. Bukankah lebih baik kita jual saja rumah ini untuk biaya hidup, untuk adik-adikmu yang kadung tumbuh?”

“Jangan, mak. Kita tak punya apa-apa lagi. Aku berjanji bila telah selesai proyek ini, aku akan mencari pekerjaan yang lebih baik. Kalau perlu aku akan ke kota.”

“Kita sudah makan uang haram. Kau taruh di mana harga dirimu?”

“Mak, tapi kita juga harus segera melansai hutang-hutang Abah. Mak tak kasihan pada Abah. Sudah dua bulan meninggalkan kita tapi tak juga sepeser pun hutangnya terbayar.” Mak diam, ia bersama seguknya.

“Sudahlah, Mak. Hanya sebentar saja. Ngapa mak macam ‘tu?” perempuan itu berbalik. Menghapus derai di pipinya dan mencoba tersenyum. Ada sontil di sela giginya. Aku dapat melihatnya dengan jelas, sebab hanya itulah yang jelas dari sosok tua dan rapuh itu.

“Raju, kau anak lelakiku tertua. Pengganti Abah. Apakah kau masih ingat bagaimana Abah mati, nak?” aku menelan ludah. Itulah peristiwa pilu yang melantak hatiku. Aku malu terhadap perempuan itu.

“Ya, Abah mati tertiban pohon.”

***

Senja kesumba, Monda belum datang. Mungkin ia memanggil pengepul-pengepul lain. Orang-orang kepercayaan Mad Nawar.

Duh, mahakekasih telah usai kau melegam di bawah payung mentari. tidakkah kau rasakan kita telah mengabu karena teriknya? Alamak, masih ada bias saga di kedua pipi Dini.

Perempuan itu dengan langkah lihai keluar dari petak ladangnya. Ia menelusuri sejarah rumput hitam yang melumpurkan ketelanjangan telapak kaki kecilnya. Diturunkannya topi purun usai ia menguak huma di belantara padangnya. Menyeka bulir keringat seperti menyeka air mata. Aku menggeleng-geleng. Betapa sempurnanya ia menjadi perempuan yang berdiri di antara kekotoran-kekotoran hidup dan tanahnya.

Aku melambai ke arahnya. Ia tersenyum dan melambaikan topi purunnya. Satu tangannya menenteng rantang kecil. Ia pun menghampiriku.

“Bagaimana, Din hari ini?” tanyaku ketika ia mendekat.

“Wah, seperti biasa. Melelahkan.” Ia memberikan rantangnya kepadaku.

“Apa isinya?” tanyaku.

“Nasi berlauk belacan, sambal tokok, dan ikan bilis.” Ia tersenyum masih berdiri menatapku yang segera bangkit dari tersadai ketika melihat kakinya keluar dari semak itu.

“Bang Raju menunggu siapa?”

“Mm.., teman. Tapi sebentar lagi datang.”

“Dini dengar Abang mau ke kota?”

“Ya, rencananya. Kota selalu menjanjikan pekerjaan yang lebih baik.” Aku menatapnya, ia membetulkan kerudung kuningnya yang pudar.

“Hutan semakin tidak aman ya, Bang? Banyak sekali tauke. Siang-siang pun mereka berani terang-terangan. Tak cukuplah sumpah seranah bagi mereka itu. Perbuatan-perbuatan laknat yang tak terampuni!” Dini memandang hutan. Matanya buntang menerawang dan aku hanya bisa tertunduk. Malu pada diriku sendiri.

“Din, sepertinya aku tidak pulang malam ini. Bawalah kembali rantangmu. Rumahku terlalu jauh.”

“Abang menolaknya?” aku tahu ia sedikit kecewa. Tapi aku tahu ia akan lebih kecewa bila mengetahui siapa si pengintip itu dan siapa salah satu tauke itu.

“Maafkan aku, Din. Tapi tak mungkin kau mengantarnya ke rumahku.”

“Ini oleh-oleh buat emakmu. Aku yang buat sendiri.”

“Sudahlah, Din. Tak baik kalau kau terus-terus seperti ini. Kau sudah bersuami. Di dalam tubuhmu tengah tumbuh tubuh baru.” Aku melihat perutnya.

“Oh Tuhan, dinalah perempuan ini! Abang tahu kan, di bukit Samyong sudut Batam, suamiku tengah memenuhi nafsu tauke dari Singapura? Dia tak tahu aku tengah berbadan. Tak pulang-pulang.” Ia mengambil rantangnya dan bergegas pergi tanpa mengurai panjang kata permisi untukku.

Aku menggigit bibir bawahku, tanganku merongoh saku celana dan menemukan sebatang rokok. Kucium bau tembakaunya di bawah senja yang mulai luntur, memperhatikan langkah lincah perempuan berkain itu.

Suasana sesedap kenanga ini sebenarnya ingin kukirim bersama senja semerah dadamu, Dini. Duh perempuan yang memenuhi tanahnya dengan air seninya.

Hasrat yang satu itu, membuang air sisa lewat saluran kelamin adalah seni terindah yang pernah dimiliki anjing. Hewan itu membatasi wilayahnya, panggungnya, kekuasaannya dengan mengencingi tiap sudut tanahnya. Memberi batasan-batasan kalau di wilayah itulah ia meraja dan tak boleh ada yang menjamahnya. Kita menirunya, tapi kini kita jauh lebih beradab. Orang bilang itu beradab. Tapi kau, perempuan yang kencing di semak dalam belantara itu, adalah mengencingi tanah-tanah leluhur yang lelah dalam daki tahun-tahun. Zaman yang lintang pukang, hutan yang meradang, pohon-pohon yang hendak melolong tumbang. Air kencingmu merimbunkannya kembali. Mengembalikan semua unsur-unsur hara yang hilang itu. Menguatkan hati akar-akar yang mulai mati.

Aku kembali tersadai. Memainkan asap tembakau hingga akhirnya mataku rejam karena pelupuk yang kian memberat.

“Aku pergi.”

“Raju, temani Abahmu!” Aku ingat Mak masih di dapur. Hanya suaranya saja yang terdengar. Aku bergegas keluar, menemani Abah. Jalan-jalan sepi melenggang. Matahari baru naik seujung daun puring. Kami berjalan jauh melintasi hutan-hutan. Rimbun tanpa lelah bersama derai tawa, kata-kata yang kulupa itu apa. Tapi kami tampak bahagia.

Matahari masuk lewat celah-celah pepohonan mempelam, macang, dan rambai. Burung Cancibau telah lama bangkit memulai kicau. Tapi tiba-tiba kulihat di sana, tidak terlalu jauh, ada Monda dan Mad Nawar, atau mungkin juga aku, sungguh transparan membiarkan pikiran-pikiran telanjang.

Aku berhenti melangkah. Samar kudengar suara mereka. Ternyata di belakang mereka ada berpuluh-puluh pengepul kayu lainnya. Aku menganga.

“Monda, cepat regas pohon itu. Kita butuh pohon sialang lebih banyak.” Kulihat Monda mengarahkan mesin penebang pohon. Mesin itu begitu menderu hingga linu seluruh gigiku. Tapi teriakan Mad Nawar memberi aba-aba pada semua semakin parau. Seperti bukan suaranya.

“Raju, kenapa berdiri di situ. Cepat bantu!”

“Apa?” aku masih dalam keadaan bingung.

“Cepat ke sini!” Mad Nawar memelototiku. Tiba-tiba kurasakan bumi bergetar. Monda terus meregas pohon itu hingga lingkar hidup pohon itu hendak menemui ajalnya.

“Tapi Abah….”

Tass….

Pohon itu rubuh dengan bunyi yang bergemuruh. Ada suara jerit yang tercekat dan kemudian kutemukan jiwa terbujur rapat. Lekat memeluk sebatang pohon sialang.

“Abah?”

“Ju, bangun. Tak baik magrib-magrib tidur.” Perlahan kubuka mataku, kesadaranku naik ketika jelas kulihat Monda di depanku.

“Peralatan telah kusiapkan semuanya. Tengah malam rencananya. Aku sudah memberi tanda pohon-pohon yang kita butuhkan.” Aku diam saja. Monda menggesek-gesekan kedua tangannya.

“Hei, kenapa?” Monda menyenggol pundakku.

“Kau lama sekali.” Dia terkekeh-kekeh.

“Aku orang rajin, memberikan tanda pada pohon-pohon itu. Dan kau, kau kuberi kesempatan untuk mengintip lagi.” Aku tersungging. Ia memberikanku senter.

“Ayo, kutunjukan pohon-pohon itu agar kita tak salah tebang.” Aku pun berdiri dari tempat peristirahatan itu, balai kecil tempat persinggahan orang-orang lelah usai dari ladang. Aku pun pergi mengikuti jejak Monda dengan bisik-bisiknya.

***

Perjalanan malamhampir nokturno. Mungkin di rumah-rumah sana, nyanyian pedodoi lelap telah usai dikumandangkan. Laki perempuan hangat di ranjang berahi dan anak-anak nyenyak terbuai mimpi. Hanya mungkin yang tua-tua masih rajin mengaji.

Dalam kelam itu, aku masih bisa melihat gigi Monda akibat sunggingan puasnya. Beberapa pohon telah tumbang. Ia terus bisik-bisik, sesekali karena tak tahan ia nyaris berteriak. Memaki para budak itu untuk segera melanjutkan pekerjaan.

“Ju, sekarang giliranmu.” Ia menyerahkan alat pemotong pohon itu. Tak ada yang sanggup membendung suara mesin itu. Aku diam terpaku memegang alat itu.

“Monda, aku tak bisa.” Kataku perlahan. Tak tahu, tiba-tiba saja kuteringat mimpi tentang Abah yang tertiban pohon sore tadi. Aku merasa benar-benar berdosa.

“Apa?” kata Monda heran.

“Aku tak bisa.” Aku mengulanginya dengan sedikit keras.

“Mengapa?”

“Aku tak bisa!” aku nyaris berteriak. Kurasakan uap yang keluar dari hidungku begitu hangat. Aku tak tahu mengapa aku jadi ingin marah dan begitu emosi. Kurasakan tengkuk dan punggungku berkeringat.

“Raju, kau kenapa? Sakit?”

“Tidak. Bukan. Aku sudah tak mau. Aku lelah dengan ini semua. Aku lelah. Ini aneh. Tidakkah kau tahu hutan ini juga tanah kita? Tempat kita mengambil buahnya, menginjaknya dan mengencinginya?” aku tahu Monda tak suka kata-kataku. “O, jadi kau juga mau mengencinginya?” Ia menyindir sarkas. Aku tahu matanya geram menatapku, ia mungkin juga marah.

“Kalau kau tak mau. Biar aku saja. Aku tak mau tengkar denganmu. Kuberitahu, pasti Mad Nawar akan segera memecatmu. Dasar orang yang anti kemapanan!” ia mengambil mesin itu dari tanganku. Mesin yang berat itu.

Aku diam memperhatikannya yang dengan serius membiarkan mesin itu menggerogoti batang pohon yang malang itu.

Aku lunglai. Ingat hutang-hutang Abah dan emak. Tanganku gemetar mengambil mesin yang dipegang Monda. Mesin itu menggerutu, bunyinya semakin seret karena terlalu berat. Bukan mesin baru memang. Di siang hari aku dapat melihat mesin itu uzur dilumur karat.

“Ya, begitulah. Kau harus tahu hidup ini susah dan memang banyak yang perlu dilanggar.” Akhirnya Monda memberikan sepenuhnya mesin itu padaku. Tentu dengan begitu ia tak akan melapor yang macam-macam pada Mad Nawar perihal tingkahku barusan.

Tubuh batang pohon itu mengeluarkan perih, mengeluarkan serpih batang-batangnya yang pipih. Aku dapat mendengar lolongannya sebelum ia tumbang. Ia sekarat. Dan aku tak tahu bagaimana rasanya disayat seperti itu. Air mataku mengalir. Bukankah ini malam? Malam selalu menyembunyikan banyak hal.

Pandanganku kabur, sekelebat rupa-rupa menggelantung di butiran hangat itu. Abah, emak, dan Dini.

Tiba-tiba kakiku kembali gemetar, bunyi gemuruh pohon yang mulai jatuh. Ya, seperti mimpiku sore tadi. Aku lihat orang-orang yang sama kecuali Mad Nawar dan Abah, sedang melakukan kegiatan yang sama seperti yang aku lakukan.

Pohon itu mulai condong, sedikit demi sedikit jatuh. Dan tass…. Ia jatuh di arah yang tak kentara. Utara, selatan, timur, atau barat aku tak tahu. Bunyinya berdebum. Apakah ada yang tercekat? Aku tak tahu tapi hatiku begitu pilu. Aku telah membunuh. Aku telah membunuh daun, ranting, embun, dan angin. Aku telah membunuh kekasihku sendiri.

***

Pohon-pohon telah meninggalkan getah dalam keadaan kering. Daun-daun hijau telah dijemput kematian. Tiba-tiba diam mengejang. Segala kesunyian aneh yang tengah pingsan di belantara gundul mulai sadar ketika azan subuh melebuh, membukakan jalan. Gelap tinggal seperempat, dan kasak kusuk ramai itu pun mulai terdengar.

“Astaga!!! Ada yang mati, Bang.” Seru seorang pengepul kepada Monda.

“Apa? Maksudmu hewan?” tanyanya kembali masih sambil membereskan perkakasnya.

“Bukan. Bukan hewan. Manusia. Perempuan.” Mendengar itu darahku tersirap. Naik hingga keubun-ubun. Punggungku terasa terbakar.

“Coba kalau bicara yang jelas?” Monda menahan panik. Tapi perasaanku tak karuan rasanya.

“Itu Bang. Coba Abang lihat sendiri. Ada perempuan tertimpa pohon.” Tanpa ragu lagi aku buru-buru berlari ke arah yang ditunjukan pengepul itu. Yang lain turut pula menyusulku.

Ada perempuan nokturia yang selalu masuk ke dalam hutannya untuk menandai wilayahnya, setiap malam. Itu sudah menjadi dongeng bagiku dan aku mempercayainya. Dongeng yang kubuat sendiri untuk kemudian di suatu malam aku melupakannya. Aku tak sengaja melupakannya.

“Monda! Kau gila! Ini Dini.” Jantungku berdegupan dengan gilanya. Kini malam usai dan tak ada lagi yang bisa disembunyikan dari mataku dan hatiku.

“Aku tidak tahu kalau ada perempuan di sini.”

“Ini bukan pohon yang aku tebang semalam.”

“Ya, aku juga.”

“Apa-apaan kalian. Cepat bantu angkat pohon ini!” Monda gusar. Ia tahu perasaanku, tapi aku tahu ia merasa tak bersalah.

Oh aku lupa Dini, aku lupa. Inilah wilayahmu yang kau kencingi setiap pagi dan malam, yang seharusnya tak boleh dijamah oleh siapapun.

Tanganku bergetar menyentuh pipinya. Begitu dingin, begitu dingin hingga kutahu pasti ia dapat membekukan maniku yang telah lama menjadi lahar karena hasrat cinta yang terpendam. Tapi ia beku. Kain yang terangkat tinggi itu memperlihatkan hutannya yang rimbun. Hutan rupawan yang rawan, yang dirindui setiap lelaki.

Bukan. Bukan air kencing yang kutemukan di selangkangan itu. Tapi darah kering yang masih segar dan menggumpal. Darah tunas kehidupan yang nyaris tiga bulan bersemayam dalam lindungan kandungnya.

Kurasakan tangan Monda mencengkram pundakku, tapi aku sudah mati rasa. Air mataku sudah ke mana-mana. Ke mana-mana, aku tak tahu ke mana. Aku hanya ingin berlari di hutan ini. Menyusuri matahari dan memunguti sinarnya yang pecah berkecai-kecai di antara pepohonan yang masih bersisa itu. Menaruhnya dalam karung goni.

Aku mengerang. Aku ingin menjadi daun, menjadi ranting, menjadi embun, dan angin. Menulisi matahari agar dapat terus mengintip seorang perempuan yang kencing di semak itu.

***

Pekanbaru-Jakarta
April 2006

Untuk Raju

Catatan :

Tauke: pencuri atau penebang kayu hutan diam-diam pada malam hari.

Pelita teding: lampu yang terbuat dari kaleng susu bekas. Biasanya bersumbu kain dan di atasnya ada tameng yang dipasang sebelah saja untuk melindungi dari lambaian angin.

Rumah lanting : rumah yang sangat sederhana.

Melansai: melunasi hutang-hutang.

Ngapa: mengapa.

Sontil: tembakau yang menempel di antara gigi dan bibir dari seseorang yang makan sirih.

Topi purun: topi besar yang terbuat dari anyaman kulit kayu yang biasa digunakan petani untuk berladang atau berhuma.

Tersadai: terbaring dengan kaki terbujur.

Buntang: membeliak.

Lintang pukang : berlari dengan cepat, tunggang langgang.

Rejam: terpejam atau pejam.

regas/meregas : memotong

Melebuh: membukakan jalan.

Berkecai-kecai : berantakan, terpecah-pecah.

Nokturia: keadaan suka atau sering kencing pada malam hari.

Google Docs & Spreadsheets -- Web word processing and spreadsheets. Edit this page (if you have permission) | Report spam