« Home | Bulan Gendut di Tepi Gangsal » | Kering » | Perca » | Kembang Sri Gading » | La Runduma »

Cari Aku di Canti

Cerpen Wa Ode Wulan Ratna

Siti Rahma suka berlama-lama berdiri di tepi pantai itu. Ia menatap langit. Mungkin menatap langit yang cerah keabu-abuan, mungkin pula memandangi Gunung Krakatau yang tersaput kabut sambil menduga-duga kapan kiranya ia meletus lagi. Bila ia duduk di pasir putihnya yang lembut, ia akan menjulurkan kakinya yang mulus putih itu hingga mendapatkannya dipeluk riakan gelombang laut yang asin. Atau bila ia bosan berdiri dan duduk-duduk, ia pasti meninggalkan jejak-jejak telapak kakinya pada bibir cinta itu. Memungut koral di sepanjang pantai dan membiarkan dirinya raib tertimbun kabut senja dan kemudian lenyap dirimbunnya malam. Setelah itu, orang-orang akan bertanya-tanya; ke manakah ia pergi?

***

Siti Rahma hilang lagi.

Itulah berita yang kesekian kalinya kudengar dari orang tuanya. Dan aku pun tak tahu mengapa aku merasa benar-benar bertanggung jawab atas kehilangannya kali ini. Atau mungkin karena ia tidak membalas email dan SMS-ku? Mungkin ia memang sudah muak dengan teknologi dan membuang handphonenya jauh-jauh ke laut. SMS terakhirnya hanya berbunyi, “Aku di Canti.”

Aku duduk tenang di dalam nuwo penduduk tempat Siti Rahma menginap. Mataku tak lepas dari jendela memandangi gadis itu yang berdiri di tepi pantai Canti. Ia memperhatikan setiap golakan gelombang pada laut hijau bersih itu yang sewarna dengan syalnya. Ia pasti sedang mencari inspirasi tentang sesuatu yang dalam dan memikat. Rambutnya yang sebahu tipis itu kusut disisir angin pagi. Kabut dini hari masih mengambang mengibaskan sejuk. Aku tak pernah tahu apa yang ada dibenaknya. Ia seakan enggan untuk ditebak.

Aku ingat percakapan malam itu di balkon kamarnya saat di Jakarta, memandangi langit malam dengan sedikit bintang-bintangnya yang berkedip, “Betapa nikmatnya menjadi seorang engkau, sayang.” Aku hanya menatap tubuhnya yang langsing semampai itu dari belakang diterangi cahaya merkuri lampu jalan. Syal hijaunya mengibas-ibas terkena hembusan angin tropis yang berdebu yang membuatnya dan pantulan bayangnya bagai sosok Jonggrang yang anggun turun dari purnama.

“Ah, sudahlah, Pras. Tak perlu disesali. Aku sudah terlanjur jatuh cinta, “ ia menoleh padaku. Pada matanya yang perak itu, selain menyimpan 1,5 minus dibalik kacamatanya, aku tahu ia menyimpan bulir-bulir mutiara yang siap meluncur di sudut-sudutnya.

“Rahma, dunia ini milikmu,” kataku pada akhirnya. Bukan lelah aku memberinya semangat terhadap studinya seperti apa yang selalu ia lakukan untukku. Ia menatap amplop yang aku taruh di meja sebelum akhirnya ia menatap langkah kakiku yang membuatnya berdua bersama sepi.

Kini aku mendapatkannya di Canti. Aku tak tahu di mana pantai Canti sebab baru pertama kalinya aku keluar kota seorang diri menyeberangi selat ke tempat di mana aku tak tahu apa-apa. Tapi aku seperti mendapatkan kabut, sebab sepertinya ia tidak menginginkan kehadiranku dan tak ingin membagi keindahan pantai cantik ini padaku.

Sudah dua hari ini aku di Canti bersama patung rupawan yang belum juga mau berbicara banyak padaku. Entahlah, apa yang ia lakukan saja berhari-hari di sini. Kabur dari asrama kampus dan membawa seluruh peralatan lukisnya?

Aku seperti ubur-ubur yang terombang-ambing saja di kotanya ini. Dari Bakauheni aku dioper ke Kalianda lalu dioper lagi ke keberbagai tempat. Melewati dua tiyuh Maja dan Rajabasa. Bertanya kepada setiap supir angkutan dan kemudian sampailah aku ke Canti setelah melewati sebuah rute yang seperti meander. Aku berbelok-belok menelusuri panjang perjalanan untuk sampai pada sebuah perabuan di mana kini Siti Rahma bernafas. Namun sampai di sini ternyata aku seperti tak bernyawa di hadapannya.

Ya, sampailah aku di sini, sebuah pemukiman penduduk dengan nuwo-nuwonya yang tertata sedemikian rupa. Mungkin jika tiyuh ini adalah sebuah kota, maka ia lebih tepat disebut kota tua yang rupawan. Begitu kuno dalam perawatan waktu dan alami dalam goresan alam. Lalu bertanya aku pada seseorang tentang seorang gadis bernama Siti Rahma. Ia menunjukanku jalan menuju Siti Rahma bersandar dalam pelariannya. Sebuah pantai yang tenang dan sejuk.

Itulah kulihat pertama kali ia berdiri di situ seperti saat ini. Aku datang menghampirinya dan diam-diam saja bersebelahan dengannya. Ia sama sekali tidak terkejut atas kedatanganku. Memang SMS terakhirnya hanya menyatakan di mana ia berada sementara seisi rumahnya dirundung kebingungan atas berita hilangnya ia. Ia sama sekali tak menginginkan ada yang datang menjemputnya, sebab tak ada seorang pun di rumahnya, dan tak terkecuali aku, yang tahu di mana Canti.

Seorang ibu pemilik rumah tempatnya bernaung menaiki ijan sambil membawa segelas teh. Teh itu masih mengepul dan menawarkan aroma melati yang manis. Ia tersenyum padaku dan meletakan teh itu di meja. Kuhisap rokokku dalam-dalam sambil tak lepas memandangi gadis setengah matang itu mematung di bibir pantai.

“Dia memang suka seperti itu kalau datang kemari,” kata ibu itu. Ia mempersilahkan aku untuk mencicipi teh yang masih mengepul itu.

“Biasanya dia datang ke sini dua kali dalam seminggu. Hanya saja sudah empat hari ini dia tidak mau kembali.” Aku memalingkan wajahku pada ibu itu. Sang ibu tersenyum. Tampak wajah mudanya belum pudar meski tertutup kerut-kerut halus usia dan kelelahan.

“Kalau tidak melukis, ia pergi ke Goa Sawung. Ia suka menikmati pemandangan. Dia suka mengumpulkan kulit siput dan koral. Di kamarnya banyak sekali koleksinya itu.” Aku manggut-manggut, mematikan rokok dan mencoba mencicipi teh yang diseduhkannya untukku. Ternyata Siti Rahma sudah seperti anak sendiri bagi ibu itu atau tepatnya bagi tiyuh ini. Ibu itu kemudian memohon diri sebab ia harus ke pasar dan membeli bahan-bahan untuk makan siang nanti.

Beberapa teguk dari teh itu telah melunasi dahagaku, tapi aku tetap saja kacau. Rasa haus yang melanda perasaanku tak juga terpuaskan. Maka kuturuni ijan dan berjalan menuju gadis itu. Dari belakang kulihat syal hijaunya berkibar-kibar seperti rambutnya, ia juga kusut diremas angin pantai.

Nyo kabah?” tanyanya ketika aku telah berdiri cukup lama di sampingnya. Aku tersenyum dan menatap apa yang sedang ia tatap.

“Baik. Pagi yang selalu indah di sini, ya?” ia tidak menyahut dan terus memandangi bentangan alam yang dibuat Tuhan.

“Aku tak enak dengan orang tuaku. Memang sudah selayaknya Ayah marah padaku karena indeks prestasiku turun drastis. Mereka telah berkorban banyak untukku.” Akhirnya ia mulai berkata-kata setelah sekian hari aku hanya didiamkan saja. Mungkin ia telah usai marah padaku sebab berani-beraninya aku datang ke Canti dan memergokinya bersama lukisannya. Aku tak mau komentar apa-apa. Aku ke sini meski membawa pesan dari orang tuanya untuk mencarinya, tapi tujuanku sendiri adalah mengetahui kalau ia baik-baik saja.

“Ah Pras, seharusnya tak kuberi tahu kau kalau aku ada di Canti yang membuatmu datang.” Dari kata-katanya aku tahu ia tak suka ada orang yang mengganggu kesendiriannya.

“Tapi kau lari dari kenyataan, Rahma.”

“Lho, kau ini bagaimana? Katamu dunia ini milikku?” Aku tahu, setiap kata-kata baginya bernilai kesumat.

“Ya, tapi aku mengkhawatirkanmu.” Ia tersenyum, mengulum tawanya. Ia suka aku berbicara seperti itu. Tapi kemudian wajahnya kembali murung. Sesuatu yang merah dan mengemaskan menyembul di dua pipinya. Kami diam berlama-lama. Aku tak mau lagi ada kata-kataku yang meluncur begitu saja dan membuatnya hilang dari pandanganku saat ini juga.

“Ke mana handphonemu?”

“Aku jual. Aku ingin menginap di sini lebih lama dari yang mereka bayangkan.” Kami berdiaman lagi. Sama-sama menatap Gunung Krakatau yang berdiri anggun dan angkuh. Gunung itu nyaris hilang dari pandangan mata sebab kabut tebal dan awan melingkupinya.

“Gunung itu pernah meletus tanggal 27 Agustus di tahun 1887. Tanggal dan bulannya sama dengan hari kelahiranku,” ia tersenyum seakan mengingat bagaimana Siti Rahma kecil berlari-lari di tepi pantai Ancol dengan perasaan bahagia dan tanpa beban pikiran apapun.

“Pras, tahukah kau aku mengoyak sepi di tengah semangat yang kupancarkan padamu untuk hidup? Tak ada yang berbeda sebenarnya di antara kita selain rasa sepi.” Ia memandangku. Pipinya masih meranum seperti tomat muda. Matanya yang tak berkacamata itu membuat wajahnya menjadi sangat lembut dan serasi dengan alam pantai Canti yang senantiasa muda.

“Menurutmu, Agustus nanti ia akan meletus lagi?” ia menunjuk gunung itu, aku tersenyum padanya dan aku menggeleng kuat-kuat. Aku tak suka ada bencana alam gunung meletus. Ia tertawa. Tawa yang renyah seperti biasa kukenal ia. Tapi tawa yang ini seakan begitu janggal, sebab seperti ada suatu perasaan yang ia sembunyikan padaku.

“Mau ikut atau mau berenang? Aku mau ke Goa Sawung, mumpung lagi surut dan masih sepi.” Ia berjalan meninggalkanku tanpa menunggu jawabanku. Aku tersenyum menatap gadis itu yang sesekali berhenti dan membiarkan kakinya disapu air laut dan sesekali pula memunguti koral dan kulit siput yang dibimbing laut padanya.

“Siti Rahma, kau tak salah memilih tempat….” Teriakku, tapi ia tidak menoleh. Namun aku tahu pipi itu masih memerah entah karena apa dan aku pun tahu ia menyembunyikan sebuah senyuman untuk kubawa pulang besok sebab ia memang menghendaki kata-kataku yang demikian. Ia nampak begitu manja dan kanak-kanak tanpa kacamata minusnya, pikirku sebelum akhirnya aku mnyelami hijaunya laut Canti.

Aku menyusulnya ke Goa Sawung. Siti Rahma tampak bak ratu pantai yang tercenung di bibir goa yang ternganga. Ia melambai padaku dan mengharapkan kedatanganku. Sebuah lambaian yang memikat. Aku menghampirinya dan ia langsung menarikku untuk menikmati dinding-dinding goa alam itu. Tapi ia tak menjelaskan apa-apa di dalam goa itu. Aku tak pernah tahu apa yang dipikirkan gadis itu saat ia melihat-lihat stalagmit dan stalaktit yang bergelantungan di dinding bawah dan atas goa. Atau saat ia terpesona pada sinar matahari yang tipis menerobos celah-celah dinding goa.

Mungkin Siti Rahma enggan berbicara padaku. Kulihat ia meraba-raba gelap dan kabut seperti bayi yang meraba ujung dan pangkal kehidupan. Aroma dingin yang menyekap badan goa karena musim hujan membuatnya tampak begitu pucat dan bersinar seperti kunang-kunang. Ia seperti lentera yang membuatku dengan jelas melihat segala ornamen dinding-dinding bisu itu.

Diam-diam aku memperhatikan gadis itu. Aku tak pernah tahu apa yang ia pikirkan. Aku pun tak tahu sudah berapa lama ia bersahabat dengan sepi. Lama kelamaan aku berpikir, paras lembut dan melankolis itu memang lebih pantas menjadi seorang seniman ketimbang dokter. Tapi tiba-tiba aku terjebak. Ia memergokiku yang diam-diam memperhatikannya, “Kenapa?” tanyanya. Aku menggeleng dan tak kuat menahan senyum, dalam terang yang redup dan hangat itu dapat kursakan pipinya bertambah merah.

“Jadi kau menikah Desember nanti, Pras?” ia memalingkan wajahnya dari tatapanku.

“Ya. Terima kasih atas pinjaman uangnya semester lalu.” Kataku mencoba mengalihkan pembicaraan. Sebab menyinggung masalah itu rasanya menciptakan obrolan yang kaku sekali. Mungkin juga karena kini aku menebak kenapa pipinya tiba-tiba tambah memerah seperti apel. Mungkinkah ia cemburu. Siti Rahma adalah sahabatku sejak kecil. Banyak sudah kami saling berbagi kecuali yang satu ini.

“Kenapa? Aku bersedia menjadi seksi repot di hari pernikahanmu.” Aku tak dapat menggambarkan dengan jelas ekspresi wajahnya dan memang aku tak berani menduga dan membayangkannya.

“Rahma, kamu masih mau kan kembali ke Jakarta?”

“Tentu. Di sanakan rumahku, tapi aku mau lebih lama tinggal di Canti.”

“Kuliahmu?” ia mendengus membuang sisa uap lelah hatinya. Ia menarik tanganku dan mengajakku keluar perut goa. Ia menjelaskan tanpa menjawab pertanyaanku bahwa sebentar lagi akan banyak pengunjung yang datang untuk menikmati panorama dari goa sawung ini. Ia menjelaskan mengapa goa ini disebut sawung sebab bentuknya yang seperti lubang. Sawung artinya lubang. Ia terlambat menjelaskan itu semua padaku, seharusnya ia menjelaskannya di bagian terdepan waktu pertama kali aku masuk dari mulut goa.

Ia melepaskan gandengannya ketika keluar dari mulut goa dan aku mengikuti langkahnya dari belakang. Namun ia menungguku untuk dapat berjalan beriring. Aku menggandeng tangannya. Ia tampak sedikit berseri. Aku malah yang terkejut, tangannya sedingin es di kutub sana. Baru aku menyadari kalau seluruh bajunya basah seperti ia habis berenang.

“Pras, kapan kau pulang?” Ia menyenderkan kepalanya di bahuku.

“Besok.” Jawabku singkat.

“Nanti malam ada canggot bakha. Nakao bisa lihat banyak muli mekhanai di tiyuh Canti menyanyi-nyani. Nanti nakao lupa punya kekasih di Jakarta.” Ia tersenyum menatapku dan kembali menyandarkan kepalanya di bahuku. Bicaranya begitu cepat dan menggoda aku tak dapat menangkap dan mengerti maksud yang ia bicarakan. Ia benar-benar telah jatuh cinta pada Canti.

“Terima kasih sudah datang, Pras.” Katanya sebelum berpisah di nuwo sebab ia hendak menggambil paletnya di belakang nuwo penduduk yang lain. Begitulah Siti Rahma, aku tak pernah tahu apa yang ada dalam pikirannya. Apakah ia cemburu ataukah ia ragu. Mungkin ia tidak suka atau mungkin juga ia jatuh cinta. Ia juga tidak mau mebicarakan hal-hal yang tidak ia suka meski itu harus dibicarakan. Dan sampai saat ini aku hanya bisa menduga-duga, ia memang tak menghendaki aku datang ke Canti, sebuah pantai milik seseorang dengan bukit-bukit yang menawan dan laut yang menawarkan kepermaian, tapi ia juga tak menginginkan aku pergi darinya.

Malamnya aku terbangun karena resah tiba-tiba merajaiku. Aku keluar kamar dan mendengar suara sayup seorang gadis menangis di kamar sebelah. Hatiku miris. Tapi aku tak mau mengganggu sepinya malam yang pecah karena sedu seorang gadis yang menuangkan curahan hatinya pada alam yang kelam. Ya, ibu itu juga mengatakan kalau Siti Rahma juga suka keluar tengah malam mengamati pantai yang warnanya bersatu dengan langit dan hanya bisa dibatasi dengan tebaran bintang. Apakah tadi Siti Rahma keluar jalan-jalan di tepi pantai tanpa menikmati canggot bakha.

Aku diam terpaku. Duduk rapat di tepi jendela. Sebuah sketsa dan syal hijau tergeletak hampa di meja. Sketsa pantai Canti dengan Goa Sawungnya. Sungguh sketsa untitled yang indah.

“Pras apakah aku cantik?” katanya senja tadi sebelum kutinggalkan ia bersama pantai dan malam yang mulai merayap.

“Ada sesuatu yang cantik yang hilang di pantai ini kalau kau tidak ada.” Kataku sekenanya.

“Itu jawaban yang aku tunggu, Pras.” Ia memelukku tanpa peduli pada penduduk yang lewat. Lama ia tanamkan dirinya dalam pelukanku. Sebelum akhirnya ia mengngkat wajahnya dan kudapati pipinya memerah dan matanya penuh air mata.

“Aku mau buka sanggar lukis di sini. Belum ada kan?” aku mengangguk. Aku tak berani menanyakan perihal kuliahnya. Lalu aku meninggalkannya kembali bersama sepi.

Aku tak tahu ke mana ia sepanjang senja itu. Apakah ia baru pulang setelah menjelang dini hari ini?

Di kamar sana masih kudengar segukan seorang gadis yang mengadu pada sepi dengan bahasanya sendiri tentang segalanya yang telah ia pendam. Ia berdialog dengan malam layaknya dialog ombak kepada pantai.

***

Pagi ini aku tak menemukannya di kamarnya. Sang ibu bilang kalau ia menitipkan sketsa dan surat yang ditaruhnya di atas meja untuk kubawa pulang. Aku harus pagi berangkat ke Bakauheni agar tidak sampai terlalu sore di Jakarta. Maka tak ada waktu lagi untuk mencari Siti Rahma. Kutitip salamku untuk Siti Rahma pada sang ibu dan mengucapkan terima kasih atas segala pelayanannya. Aku pun kembali.

Saat menyeberangi Selat Sunda, kubuka surat Siti Rahma. Ah, benar hanya surat pemeberitahuan kalau ia baik-baik saja dan mohon agar tidak dikhawatirkan orang tuanya serta agar ia tidak memberitahukan di mana keberadaannya. Dan pada bagian terakhir ia hanya menulis untukku, “Pras, kalau aku hilang cari aku di Canti.”

Beberapa hari setelah perjalanan yang bisu itu aku mendengar berita di televisi, bunyinya kira-kira begini: Telah hilang, Siti Rahma (22), mahasiswa Kedokteran Malahayati Lampung asal Jakarta.

Tak ada yang tahu di mana ia berada. Orang tuanya sungguh sangat memprihatinkannya dan gelisah sampai memasang iklan segala. Ah, Siti Rahma sayang, apakah harus aku menjemputmu lagi di Canti? Dan membawamu kembali ke rumah agar semua orang tahu kalau kau baik-baik saja?

Aku tersenyum dan memmbayangkan Siti Rahma dengan rona merah di kedua pipinya sedang duduk-duduk di tepi pantai Canti.

***

Jakarta – Lampung
Untuk Rahma Wd.

Catatan:

Nuwo: rumah

Ijan: tangga rumah

Tiyuh: kampung

Canggot bakha: pesta adat muda-mudi Lampung

Muli mekhanai: gadis yang belum menikah

Goa Sawung: goa alam di barat palung Canti, masyarakat pasisir Lampung di Canti menyebutnya Goa Sawung karena bentuknya seperti lubang (Goa Sawung artinya kurang lebih lubang)

Nyo kabah: Apa kabar

Google Docs & Spreadsheets -- Web word processing and spreadsheets. Edit this page (if you have permission) | Report spam