« Home | Kembang Sri Gading » | La Runduma »

Perca

Cerpen Wa Ode Wulan Ratna

Kuletakan buku yang telah habis kubaca semalaman itu di meja belajarku. Pandanganku menyapu ke luar jendela, saat matahari pukul delapan melela. Perempuan ramping berumur empat puluh delapan tahun itu melintas seperti biasa, beranjak ke pasar di sebuah simpang jalan. Kuperhatikan caranya berjalan yang meleha, juga pakaiannya dengan rok kembang-kembang berwarna ungu kuning dan baju sabrina sederhana berwarna krem, tentu saja akan cukup mengundang penafsiran sejumlah laki-laki bahwa ia masih gadis. Begitu pula riasan wajahnya sangat bersahaja, dengan make up minimalis namun guratan tipis dari make up itu malah mempertegas pancaran aura kecantikan di wajahnya. Dan dari semua yang menghiasi dirinya pagi itu, tidak ketinggalan kerudung bunga-bunga dengan warna hijau pudar tersampir menutupi rambutnya yang diikat mengondai. Ia masih sama seperti dulu.

Ya, perempuan itu ibuku. Sejak kepulanganku tiga bulan lalu dari sebuah kota lain tempatku belajar, aku jadi tahu kebiasaannya setiap hari. Memang ibu terlalu cantik seperti sembilan tahun lalu saat kutinggal ia untuk belajar. Tapi kerudung bunga-bunga itu tak pernah kulupa. Warna wajah mudanya boleh pudar, tetapi semerbaknya motif bunga-bunga berwarna hijau kekuningan pada kerudung itu tidak pernah kuncup.

Dulu, ketika aku berumur tujuh tahun. Ibu adalah seorang yang sangat cantik di kota kecil kami. Bapakku yang berantakan penampilannya itu selalu membangga-banggakannya di hadapan tetangga. Aku pun bangga. Aku kagum pada ibu. Dan untuk melengkapi pamornya sebagai kepala keluarga yang telah memiliki istri cantik dan seorang anak laki-laki, maka bapak membuka usaha untuk menghidupi kami sekeluarga. Beliau membuka bengkel di samping rumah, dan tentu saja banyak orang yang memperbaiki kendaraan mereka di bengkelnya (sebelumnya beliau tidak tahu mengapa bengkelnya begitu laku). Sebagian besar yang mampir untuk memperbaiki kendaraan adalah laki-laki. Dari tukang becak sampai pengusaha, dari laki-laki perjaka yang muda-muda sampai yang telah punya istri, tetapi yang lebih banyak adalah mereka yang telah mempunyai istri. Terakhir bapak baru sadar bahwa kedatangan mereka sebenarnya hanya untuk menikmati kemudaan ibu saja. Maka, bapak selalu melarangku ke luar rumah meski itu hanya ke bengkel. Aku disuruhnya menjaga ibu.

Aku anak tunggal. Aku tak punya teman. Kata ibu, itu pantangan kalau ia harus punya anak lagi. Aku tidak mengerti. Tapi ibu mengatakan kalau aku punya adik lagi maka susuknya yang ada di dahi, di hidung, pipi, dagu, pinggul dan pantat akan ke luar dan melukainya, membuat wajahnya berubah seperti hantu dan rejeki akan menjauh hingga aku tak akan bisa sekolah. Tapi aku malah tambah tidak mengerti dengan penjelasannya.

“Ibu, bukankah susu hanya ada di dadamu? Kenapa ada juga di pantat?” tanyaku ragu. Ia hanya tersenyum dan menjawab,

“Kau kuberi nama Yusuf karena kau rupawan. Oleh karena itu kau kusapih ketika berumur lima tahun.” Ia terus mengayun-ayunkan kakinya pada mesin jahit tua itu, dan terus menjahit. Mungkin, oleh sebab aku berhenti menetek pada usia sekian, aku jadi suka menghisap jempol tanganku. Jempol tangan selalu membuatku terkenang pada puting payudaranya yang merah seperti buah anggur.

Ibu terus saja menjahit. Dan aku tetap anak tunggal yang tak punya teman. Namun karena di situ banyak kain-kain pesanan dari pelanggan ibu, aku jadi gemar bermain raja-rajaan dan pengantin-pengantinan untuk mengisi waktu kejenuhanku. Ibu juga mengajariku membuat boneka-bonekaan dari kain perca sehingga aku punya teman bermain. Dari situlah aku mulai menyukai rasa mulus kain linen kerudung bunga-bunga dan gaun satin ibu. Kadang aku juga suka mengajak Mei Hwa, anak Tiongkhoa teman kerja bapak di bengkel, untuk ikut bermain. Ya Mei Hwa, gadis sipit itulah yang kemudian menjadi temanku.

Mei Hwa lebih tua satu tahun daripadaku, tetapi ia tidak pernah mau mengalah. Sering pula Mei Hwa membawa boneka-bonekanya untuk diajak bermain. Entahlah, tapi rasanya aku mulai jatuh hati padanya. Mungkin itulah satu-satunya kenangan cinta pertamaku yang masih kuingat seperti selalu kuingat puting susu ibu dan kerudung bunga-bunga ibu yang selalu mekar di setiap musim.

Sebelas hari menjelang umurku menginjak sepuluh tahun, saat aku pulang dari sekolah dasar, kutemui bengkel bapak dalam keadaan porak-poranda. Darah berceceran di lantai, seperti kecap. Ya, tadinya aku pikir itu kecap, begitu kental dan bila dilihat dari jauh seperti berwarna cokelat kehitaman. Orang-orang datang mengerumun. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di rumahku, oleh sebab itu aku berlari cepat masuk ke rumah karena khawatir terhadap ibu. Tapi ibu tidak ada, ibu tidak pernah ada. Ibu raib. Aku hanya bisa menangis karena menemukan mayat Mei Hwa yang telanjang. Mei Hwa yang kini telah menjadi boneka porselen dengan bercak darah kering pada selangkangannya. Juga darah bapak yang mengenai kerudung bunga-bunga ibu. Darah bapak yang perkasa.

Aku tiba-tiba menjadi sebatang kara yang tidak pernah menemukan ibu. Aku asing. Dan sungguh sulit rasanya menerima apa yang terjadi dalam keadaan sadar. Meski begitu banyak tetangga yang menawarkan bantuan padaku, mengangkat aku sebagai anak, dan menyekolahkanku.

Hampir lima bulan lamanya ibu baru kembali. Ibuku yang cantik itu tidak lecet sedikit pun. Ia datang dan langsung memelukku erat. Aku sempat terkejut. Aku pikir ia memang bidadari, tiba-tiba turun dari khayangan untuk menjemputku. Aku menangis meraung-raung dalam pelukannya, aku pikir ia tidak akan kembali. Dan ketika aku tenggelam dalam bau badannya yang wangi melati aku bertanya,

“Ibu ke mana saja? Yusuf kangen. Kangen…. Kangen sama ibu….” Ibu hanya tersenyum seakan tidak pernah terjadi apa-apa, tidak juga merasa kehilangan bapak atau Mei Hwa. “Yusuf, utang bapak sudah lunas. Bapak bisa masuk surga sekarang.”

“Nggak mau, Yusuf mau Bapak.”

Yusuf, Yusuf bisa punya bapak lagi. Sebab sekarang ibu sedang jatuh cinta.”

Aku tak pernah setuju ibu punya bapak lagi selain bapak. Berhari-hari aku tidak sekolah karena memikirkan nasib bapak di surga. Apakah bapak boleh menikah lagi dengan bidadari? Bukankah cantik ibu melebihi bidadari? Tapi aku kangen bapak. Aku kagum pada bapak. Hampir setiap malam minggu bapak mengajakku ke Taman Hiburan Rakyat untuk menonton pertunjukan wayang Mahabarata atau Ramayana. Dan aku tertarik pada kisah pertukaran jenis kelamin Srikandi dengan raksasa Stuna. Menurutku sekarang begitulah ibu. Begitu perkasa melawan hidup, seperti laki-laki. Terakhir kuketahui memang, ibuku adalah seorang laki-laki. Dan bapak yang gagah itu serupa Arjuna. Ia tidak mabuk minum berbotol-botol bir, selalu waras dan awas. Suka mendengarkan suara-suara merdu pesinden atau kadang ikut menyawer seraya menjadi bajidor dengan uang hasil utangan agar bisa menari dengan para penari-penari kliningan itu. Atau bila ia mau, ia bisa tidur dengan satu atau beberapa di antara mereka. Tapi bapak selalu setia dengan mengatakan padaku,

“Kau pulanglah duluan. Bilang sama ibu hanya dialah satu yang kucinta.” Beliau memberiku uang dengan jumlah banyak dan aku akan pulang sendiri melewati alun-alun.

Yah, aku jadi tertarik pada karakter bapak juga pada bentuk tubuhnya. Ototnya yang menonjol, badannya yang tegap, kulitnya yang terbakar matahari, bulu-bulunya. Sampai pada keringatnya yang kadang asam kadang bau matahari bercampur sulfur. Bapak memiliki kejantanan laki-laki yang nyaris tidak aku miliki. Sebuah kejantanan yang dapat membuatku merasa nyaman.

Memang benar tiba-tiba aku menjadi pemurung. Aku suka menyendiri dan memperhatikan tingkah orang-orang di luar jendela. Aku pun jadi rindu pada Mei Hwa. Aku kesepian. Mei Hwa selalu mengajariku cara berdandan pengantin dan menyelempangkan kerudung bunga-bunga ibu. Ia jadi seperti gadis Melayu yang eksotik dengan mata sipitnya. Ya, kemuraman itu berlangsung hampir dua tahun. Ketika ibu terus jatuh cinta setiap malam, dan setiap pagi pergi ke pasar untuk meminum jamu-jamuan dan membawa bunga-bungaan. Malam liburan ibu hanya malam Jumat karena ia akan sibuk di kamar mandi dengan kembang tujuh rupa.

Sampai pada suatu ketika ibu berkata padaku, “Oi, Yusuf sekarang sudah besar. Tambah ganteng. Harus berhasil ibu mengurusmu, Nak. Badanmu harus bagus, coba jangan di rumah terus. Bergabunglah dengan anak-anak lain di luar. Ikut bela diri dan renang.”

Aku mengangguk.

“Berapa umurmu sekarang?”

“Tiga belas.”

“Nah, cukuplah celana renang ini untukmu, ibu jahitkan.” Di situlah untuk pertama kali aku mendapatkan bahwa rasa dan bau pakaian baru membuatku terangsang. Suatu saat di kamar mandi ketika aku mencoba celana renang buatan ibu, aku pun merasakan nikmatnya masturbasi. Meski begitu aku tidak pernah mengenakan celana itu kecuali beberapa kali saat mandi, sebab aku terlampau malu berenang dengan bertelanjang dada.

Sejarahku berlanjut di asrama laki-laki. Ibu yang memasukkanku ke asrama di sebuah kota terdekat yang memiliki fasilitas pendidikan lengkap. Mungkin ia mendapatkan uang yang banyak dari suaminya yang aku tak ketahui dan tak aku restui. Katanya aku harus belajar dan menjadi pintar. Pokoknya aku harus jadi orang sehingga ibu tidak terlalu susah. Dan di sanalah aku mendekam selama enam tahun. Tidak bertemu ibu. Hanya buket bunga, uang di amplop dan surat yang kutemui enam bulan sekali dan setiap liburan bila ia mengunjungiku sesaat saja. Ia tidak pernah membawaku pulang.

***

Begitulah selalu, pagi ini pun demikian. Ibu pergi ke pasar. Sesaat setelah aku meletakkan buku dan bercermin melihat wajahku yang masih basi, aku pun turun ke bawah untuk sarapan.

Di meja telah tersedia beberapa potong roti bakar juga roti selai nanas. Namun ketika aku baru menggigit dua potong ujung roti selai nanas itu, b Ah, betapa malasnya aku membukakan pintu untuk tamu yang tidak tahu diri. Tapi aku beranjak juga membuka pintu depan. bel rumah terdengar beberapa kali. Ah, betapa malasnya aku membukakan pintu untuk tamu yang tidak tahu diri. Tapi aku beranjak juga membuka pintu depan. Sesosok laki-laki dengan kulit cokelat dan berkumis tersenyum. Di tangannya ia menggenggam sebuket bunga gladioli berwarna putih. Aku tersenyum, wajah cokelat bersih itu berseri. Guratannya tegas membentuk raut yang menyenangkan, tatapannya teduh walau sangat ekspresif.

“Selamat pagi. Ibu ada?” katanya.

“Oh, ibu memesan bunga?” aku balik bertanya sambil memperhatikan pakaiannya yang rapi, sama sekali tidak seperti tukang bunga. Ia menggeleng dan sekali lagi tersenyum lebar. Giginya yang tidak rata dan berwarna biru kecokelatan itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang suka merokok dan rajin pula menggosok gigi dengan kandungan garam fluoride tinggi pada pasta giginya. Aku mempersilahkannya masuk dan ia langsung duduk di ruang tamu.

“Bukan, saya bukan tukang bunga. Saya Rus, tolong, saya mau ketemu ibu!” Vas bunga kristal yang kosong di meja tamu seraya telah disiapkan ibu untuk menaruh bunga yang dibawanya. Aku duduk berhadapan dengannya setelah membawa beberapa potong roti bakar, roti selai nanas dan teh hangat. Sekali lagi dia tersenyum padaku dan merelakan dirinya untuk menunggu kepulangan ibu.

***

“Yah, maaf aku lupa. Aku seharusnya tidak datang sepagi ini untuk bertamu. Tapi aku sudah sangat kangen pada Mila.” Dia mengeluarkan rokok kretek dari saku kemeja garis-garisnya.

“Merokok?” tawarnya. Aku menggeleng dan mengucapkan terima kasih.

“Ibumu banyak cerita, Yusuf. E…, Yusuf ‘kan namamu?” aku mengangguk.

“Bagaimana sekolahmu?” aku memperhatikannya melipat kaki dan bersandar santai di sofa krem itu. Kakinya bergoyang-goyang seirama dengan asap rokoknya yang berhamburan di ruangan. Sedikit menyelidik kuperhatikan laki-laki itu. Laki-laki berkumis itu mempunyai badan yang tidak terlalu besar, tapi ia tinggi tegap. Kulitnya, ya aku suka kulitnya. Juga otot lengannya yang kecil dan tersembunyi di balik kemeja panjangnya. Aku dapat merasakannya meski aku tidak melihat dan menyentuh lengannya, otot kecil itu menonjol menunjukkan urat-urat hijau kebiru-biruan, memang bukan urat-urat dari lengan seorang pekerja kasar.

“Bagaimana?” tanyanya sekali lagi seraya mengaburkan khayalanku.

“O ya, aku dapat beasiswa,” kataku sekenanya. Tiba-tiba saja aku merasa keningku berkeringat dan telapak tanganku basah. Aku jadi gugup dan salah tingkah. Mungkin aku gelisah sebab pernah juga aku merasakan hal yang serupa ini. Paling tidak hampir sama dengan kejadian yang untuk pertama kalinya aku rasakan saat di asrama dulu. Saat aku merasa benar-benar rindu pada ibu dan begitu kesepian, seorang temanku bernama Jan dengan badannya yang kekar merangkulku, menindihku di tempat tidur lalu menampar wajahku dengan guling. Lalu kami tertawa terbahak-bahak, lelah, keringat, diam, dan kami tidur sambil berpelukan hingga pagi. Tapi rupa Jan tidak sama dengan laki-laki yang bernama Rus ini, walau begitu aku tetap saja merasakan ada hal yang membuatku merasa bahwa laki-laki ini dapat memberiku kegelisahan yang serupa sekaligus kenyamanan yang nantinya akan membuatku ketagihan. Seperti dengan Jan.

“Wah hebat. Beasiswa ke mana? Luar negeri?” aku mengangguk lagi. Uh, tamu ini sungguh berbeda. Aku memperkirakan ia seorang pengusaha di kota besar sana, dan pelet ibu selalu berhasil. Untuk kali ini, tiba-tiba aku merasa malas tetapi juga puas, entah karena apa. Mungkin juga karena bayangan bapak belum bisa hilang dari benakku yang langsung tertimpa oleh wajah laki-laki gagah ini, atau mungkin pula bayangan Jan yang merana karena kutinggalkan.

“Ibu cerita apa saja tentangku?” aku memulai pertanyaan.

“Banyak. Kau anak tunggal yang selalu dimanjanya. Ha… ha….” ia tertawa kemudian terbatuk-batuk karena tersedak asap rokoknya.

“Ibumu hebat.”

“Memang.”

“Ya, memang. Dia mampu menjadikanmu orang sungguhan.” Mungkin laki-laki itu benar. Tadinya aku hanyalah boneka-bonekaan yang dibuat ibu dari kain perca jahitannya.

“Kau tahu apa kerjanya untuk membuatmu menjadi seperti ini?”

“Kita sama-sama sudah tahu.”

“Kau memang anak yang berbakti. Aku tidak pernah keberatan menerima ibumu. Aku harap kau pun….”

“Aduh maaf, mungkin saat ini memang tidak. Tapi aku anaknya, jadi mungkin nanti….” Aku hanya angkat bahu sambil mengembangkan senyum bangga. Aku tahu ia sedikit tersinggung. Ia mematikan rokoknya di piring kecil yang digunakan untuk alas cangkir tehnya. Tak ada yang merokok di rumah, jadi tak ada asbak.

“Maaf, aku bercanda,” kataku asal, ia pun tertawa sambil manggut-manggut. Kata-kata itu terpaksa kulontar sebab aku harus tahu diri karena beberapa alasan. Pertama ia adalah kekasih ibu dan ibu jatuh cinta padanya, kedua karena ia seorang tamu, ketiga tentu saja ia seorang terpandang dan kaya yang turut pula membantuku melunasi uang biaya sekolahku. Mungkin.

“Ah, anak macam apa yang dilahirkan Mila ini. Ibumu memang orang hebat.”

“Ya, ibuku Srikandi.”

“Srikandi selalu perkasa."

“Oleh sebab ibu adalah Srikandi, suatu saat Om akan sadar bahwa ibuku adalah seorang laki-laki.”

Kami terus bercakap-cakap.

Awalnya memang aku begitu kaku, tetapi laki-laki yang bernama Rus ini begitu terbuka dan pintar mengubah suasana, hingga aku pun dapat dengan leluasa mengobrol. Ia ramah dan banyak cerita tentang apa saja, bahkan tentang disain interior yang sangat aku gandrungi. Kemudian ia juga banyak bercerita tentang ibu, kesukaan ibu pada bunga-bunga juga kain-kain sutra China. Ia juga bercerita tentang pekerjaannya yang menuntut ia ke Australia beberapa bulan lamanya. Jadi mana mungkin ia tidak kangen pada ibu? Lebih dari satu jam kami mengobrol, sampai akhirnya ibu datang dengan sambutan riangnya.

“Oh, Mas Rus sayang! Kapan datang? Aku kangen sekali. Kenapa tidak beri kabar dulu? Oh, kau sudah bertemu dengan Yusuf rupanya. Bagaimana menurutmu? Biar ak….” Aku kembali masuk ke dapur, ke meja makan, menyelesaikan sarapanku yang telah dingin dan sempat tertunda karena tamu.

***

Malam-malam, kupuja langit langit-langit kamarku. Di lantai bawah ibu sedang mandi kembang. Ya, kebiasaan itu masih terus berlangsung.

Mas Rus, begitulah ibu selalu memanggilnya. Sedang aku sendiri wajib memanggilnya dengan sebutan Om Rus. Wajah laki-laki berkumis itulah yang kini mengisi langit-langit kamarku. Ia jadi mengingatkan aku akan satu hal, satu hal di mana saat itu aku berada di kamar mandi dan mencoba celana renang baruku.

Aku memejamkan mata, sesuatu mengejang di balik sana. Dan kudengarkan dari bawah ibu bernyanyi suatu lagu-lagu tentang cinta. Aku tahu. Ibu sedang jatuh cinta. Suara ibu masih semerdu dulu, tapi ah…, aku jadi malas mendengarnya.

Beberapa lama kemudian, kudengar suara langkah ibu seraya menaiki tangga dan mendekat ke arah kamarku. Aku dapat melihat cahaya lampu luar yang menerobos lewat celah bawah pintu kamarku tersaput bayangannya. Sungguh aku malas. Aku tahu ibu menempelkan telinganya di pintu untuk mendengar dengkuranku. Apakah aku masih seperti anak kecil di matanya?

“Yusuf sayang, kau sudah tidur, Nak?” aku tidak menyahut, apakah ia rindu untuk mendongengkanku lagi seperti dulu? Lalu kulihat bayangan yang menutupi cahaya lampu di luar itu perlahan mengendap dan hilang. Ibu telah pergi. Ah, aku malas, Bu!

Aku cemburu.

***

Pagi ini aku melihat ibu ke luar lagi. Aku tidak tahu benar apa yang ia lakukan di pasar selain belanja. Aroma nasi goreng buatannya tertiup udara pagi hingga sampai ke kamarku dan membuat perutku berdecit-decit seperti ban yang direm, menahan lapar. Kuperhatikan bunga gladioli Om Rus yang kutaruh di meja belajarku. Tanpa vas. Aku menaruhnya semalam, mengambilnya dari vas kristal itu. Bunga itu masih segar dan putih. Tentunya akan banyak bunga-bunga darinya yang akan memenuhi kamarku. Kuperhatikan wajahku di cermin. Kurapikan rambutku dengan sisir dan pelicin rambut. Dan sebelum aku turun menikmati sarapan kukeluarkan selendang bunga-bunga ibu yang kucuri dari lemarinya. Bau kapur barus masih melekat pada kain linen itu.

Baru beberapa suap aku menikmati pedasnya nasi goreng, bel berbunyi. Buru-buru aku menuju pintu depan karena kutahu Om Rus akan datang pagi ini seperti janjinya karena aku akan mengantarnya ke suatu tempat.

“Bagaimana?” tanyaku.

“Bagus. Kita berangkat sekarang!”

“Ke mana?”

“Melihat lukisan.”

“Pameran lukisan?”

“Bukan, maksudku akan sangat cocok bila hadiah ulang tahun untuk ibumu berupa lukisan wajahnya.” Uh, aku tiba-tiba jadi malas mendengarkan nama ibu disebut-sebut. Tapi begitulah. Hari-hariku dengan Om Rus membuat suasana akrab yang selama ini kurindukan. Aku mengatakan hari-hariku karena ibu tak boleh tahu apa yang sedang kami persiapkan di hari ulang tahunnya sebelas hari lagi.

“Aku suka pigura dengan bingkai emas. Bagaimana menurutmu?”

“Ah, apa saja. Wajah ibu selalu cocok dibingkai warna apa saja,” jawabku. Om Rus menunjuk satu yang paling mahal dan ia mendapatkan nota yang diberikan seorang pelayan perempuan kepadanya untuk ditukar di kassa.

“Om, bagaimana kalau habis ini kita ke pantai dulu?” tawarku.

“Untuk apa?”

“Ibu selalu suka pada warna laut.”

Ia hanya mengangguk.

Entah apa ini. Di pantai aku bermain pasir dan menghabiskan dua cup besar es krim. Dan setelah aku puas memandangi bayangan laki-laki itu yang dibiaskan oleh senja, aku menggandengnya untuk kembali ke dalam mobil. Ia tidak marah aku gandeng.

***

Sudah kukatakan akan banyak bunga yang akan menghiasi kamarku. Gladioli putih, mawar merah dan pink, …. Dan mereka tidak pernah layu. Kupajang mereka di setiap celah kamarku. Di setiap sudut dan kisi-kisi tertentu, bahkan ada yang kutaruh di bawah bantal sebagai pengganti buku yang selalu kubaca sebelum tidur. Dan semakin sering kulakukan setiap tengah malam di depan cermin; memandang wajahku sambil bergaya. Menggunakan kerudung bunga-bunga ibu, menggunakan lipstik dan pakaian sabrina ibu juga rok kembang-kembang berwarna ungu kuning milik ibu. Awalnya memang aku merasa malu melakukan itu, tapi sekarang sudah seperti sebuah ritual sebelum tidur karena bayangan Om Rus selalu menemani di langit-langit atap kamarku.

Dan oi, inilah rumah bunga yang telah jadi! Memang belum sempurna benar. Tapi beragam bunga-bunga yang tidak pernah layu itu telah memenuhi kamarku, dan itu bukan masalah besar. Hari-hari akan membuatnya tambah penuh, lalu tak ada tempat untuk yang lain. Aku berputar-putar dengan rok bermotif kembang-kembang ibu. Rok itu melebar seperti payung yang diputar-putar. Aku terus berputar-putar dan membiarkan kerudung bunga-bunga ibu melayang dan terhempas. Kerudung bunga-bunga masa lalu yang diberikan bapak.

Mas kawin!

Kini suara-suara dan bayangan berkelindan di benakku. Ibu yang membisikkan kata sayang dengan mesra kepada Mas Rus. Om Rus. Aku pusing, segala berputar-putar. Mei Hwa, bapak, ibu yang cantik, Jan, Om Rus. Lalu aku sempoyongan dan terjerembab jatuh ke tempat tidur. Aku muntah, padahal perutku belum diisi. Yah, aku mabuk. Mabuk cinta. Aku tahu sejak lama kekacauan memang telah terjadi di otakku. Mungkin itu yang namanya kekacauan neotransmiter atau apalah yang membuat alam ketaksadaranku akan masa lalu tertekan dan siap meledak seperti supernova.

Air mataku menitik. Aku jadi malas mendengarkan segala canda dan tawa yang terdengar dari bawah sana. Sepasang manusia yang sedang bercengkrama. Duduk berdempet memadu hangat, membiarkan keringat melekat, dan bibir saling melekat. Desah. Peluh. Lelah. Bahagia. Di bawah ibu sedang jatuh cinta.

***

Kemudian tibalah saatnya. Ibu berulang tahun yang ke empat puluh delapan. Tapi ibu sedang ke luar dengan bahagia. Ibu pergi. Pergilah yang lama!

Pukul setengah sepuluh pagi, aku menikmati roti selai nanas buatan ibu. Setiap sudut ruangan telah rapi. Semua tertata dengan disain interiorku sendiri. Aku berkeringat meski telah mandi, tapi itu tak terlalu penting sebab sesuatu yang lebih penting bergemuruh di dadaku.

Kubuka pintu depan sesaat setelah bel berbunyi beberapa kali.

“Tolong bantu, Om!” katanya sebagai sapaan pertama. Aku mengangguk dan menuju ke bagasi mobilnya. Kami menggotong lukisan wajah ibu dalam pigura yang telah dibungkus kertas kado berwarna emas. Bingkisan yang paling besar yang akan diterima ibu seumur hidupnya, 80 x 100 sentimeter ukurannya.

Ia menyelonjorkan tubuhnya di sofa, di samping lukisan wajah ibu. Sebuket mawar merah tergeletak begitu saja di atas meja. Aku membawakannya segelas air putih sejuk yang kuambil dari kulkas dan memepersilahkannya untuk minum. Ia mereguknya sampai tuntas. Kuperhatikan caranya meminum. Embun dingin di luar gelas yang dipegangnya itu mengalir hingga ke ujung gelas seiring dengan keringat yang mengalir dari pelipisnya ke rahang bawahnya.

“Aku yang menyuruhnya pergi ke swalayan untuk membeli gaun malam. Aku bilang pilihlah yang terindah dengan warna mencolok seperti merah atau ungu. Aku ingin ia tampak sempurna malam nanti,” Om Rus buka suara. Aku tak yakin atas ucapannya, tapi aku hanya manggut-manggut saja. Ia membuka beberapa kancing kemeja cokelatnya. Aku dapat melihat bulu dadanya basah.

Om sudah makan?”

“Belum. Tapi aku belum lapar. Masih mau istirahat dulu.”

“Kalau begitu istirahat saja di kamarku. Suasananya sejuk.” Ia tersenyum dan langsung membuntuti langkahku menaiki tangga. Dan ketika ia memasuki kamarku ia sedikit terkejut, malah aku pikir ia sangat terkejut.

“Ow, kamarmu penuh bunga, Yusuf. Ini gila!!”

“O, itu bunga dari Om semua kok.”

“Bunga dari Om? Tidak layu?”

“Tidak, karena masa lalu sudah membekukannya.” Ia menatapku aneh, tapi aku tak ambil peduli duduk saja di atas spring bed berseprai putih polos yang baru aku ganti tadi pagi. Apakah ia tidak memperhatikan aku seorang laki-laki yang cantik?

“Jangan bercanda kau, Suf,” katanya sambil geleng-geleng kepala. Namun ia terus memperhatikan pigura-pigura di dinding yang memuat gambar-gambar masa kecilku dengan bapak, gambar-gambar ibu sewaktu muda, juga gambar aku merangkul Jan saat di asrama. Aku diam saja memperhatikan laki-laki itu.

Kutarik kerudung bunga-bunga ibu dari bawah bantal, kuremas hingga kusut. Hatiku tercabik, aku dapat melihat luka menganga di dalamnya. Dan kerudung bunga-bunga itu seakan memutar pikiranku ke masa lalu saat ia terpecik oleh darah bapak. Bapak tidak pernah mengkhianati ibu, bapak hanya mencintai ibu meski ia seorang Arjuna yang perkasa. Tapi ibu jatuh cinta lagi meski ia telah menjadi Srikandi, meski ia telah mengubah kelaminnya. Ibu jatuh cinta lagi meski ibu adalah seorang laki-laki.

Aku tertunduk dan dapat kurasakan mataku perih dan basah. Dapat kurasakan kerongkonganku tersumbat mungkin oleh amandel sendiri. Laki-laki itu menghampiriku, duduk disampingku. Ia tidak tahu apa yang sedang mencambuk perasaanku. Ia mungkin bingung, ia mungkin terpana, ia mungkin kagum. Aku seorang laki-laki yang dapat menangis sesegukan seperti seorang perempuan.

“Kenapa, Suf?” tanyanya. Aku tidak menyahut, tidak pula menggeleng. Diam saja dan tertunduk. Dia merangkul pundakku, tapi aku menghambur ke pelukannya. Entah detak-detak apa itu, entah hangat apa itu. Ia memang bukan bapak atau Jan, dan setiap laki-laki memang punya pesona tersendiri. Jadi segalanya mengalir seperti keringat yang mengucur. Kami terhempas di seprai putih itu. Seprai yang licin meski tidak selicin gaun satin ibu dulu. Kutindih ia dan membiarkan diriku menghirup aroma ketiaknya. Kudengar ia tertawa dan berkata, “Hei, sudah-sudah! Geli. Kau bercanda kelewatan, Suf.” Tapi mana aku peduli. Kutampar wajahnya dengan guling dan berkata, “Om aku serius, biarkan aku menggeliat seperti ulat.” Dan ranjang itu berkeriat-keriut menimbulkan bunyi yang melinukan gigi.

Hingga menjelang sore kami terhempas, dan kudengar bebunyian di dalam perut laki-laki yang tertidur lelap di sampingku itu. Ia kelaparan. Aku terduduk mencerna kembali apa yang terjadi. Ada cap bibir merah di leher laki-laki itu, aku terpaksa mengusap bibirku untuk menghilangkan warna lipstik ibu yang masih berbekas. Gaspernya made in Australia, celana dalamnya berwarna abu-abu muda. Kuperhatikan semua pakaiannya yang bercecer dan kusut. Aku menguap, melirik cermin di meja. Betapa aku!

Di bawah terdengar ibu menyenandung lagu cinta. Ibu telah pulang, entah sudah berapa lama ia telah kembali ke rumah. Dan ibu tetap sedang jatuh cinta. Hatiku perih.

“Mas Rus aku suka hadiahnya.” Ia berteriak dari bawah. “Yusuf sayang, ayo dong bangun, sudah sore begini. Ajak Om Rus juga, kita makan bersama. Ibu buat menu istimewa, lho.” Aku malas menyahut. Hingga beberapa kali ibu terus memanggil-manggil tapi aku tiada menyahut apa lagi turun. Dan akhirnya kudengar langkahnya menaiki tangga menuju kamarku. Diputarnya gagang pintu kamarku dan melongokan kepalanya, “Sayang, ayo makan du….”

***

Aku tidak menyalakan lampu, kubiarkan saja jendela kamarku terbuka hingga pijaran lampu merkuri jalanan yang kuning itu memberikan seberkas lentera. Angin berhembus membawa uap tropis yang lembab, membuat beberapa pohon akasia yang tersusun jarang-jarang pada kompleks perumahan ini tampak melambai-lambai dan oleng seperti kapal yang mau karam. Di bawah rusuh.

Gerimis di luar mulai turun.

***

Pagi ini aku tak melihat perempuan langsing yang cantik itu ke luar pagar untuk pergi ke pasar. Aku tidak melihat ibu. Maka kuputuskan untuk segera turun dan sarapan. Namun sepi mendera-dera seluruh ruangan yang nampak poranda. Kertas-kertas kado berwarna emas berhamburan di lantai. Lukisan wajah ibu yang tidak terpajang hanya bersender miring di bawah sofa. Buket mawar merah yang kelopak-kelopaknya berceceran seperti habis dihempas dan diinjak. Aku turun dan bingung melepas pandanganku ke seluruh ruang yang ada. Di mana ibu?

Aku menuju dapur dan tak mendapatkan apa-apa di meja makan. Hanya selai nanas yang tinggal setengah serta beberapa roti tawar yang belum dipanggang. Aku mengeluh dan mengolesi selai itu untuk rotiku. Menggigit beberapa kali diujungnya dan aku meninggalkan sisa potongan roti itu bersama remah-remahnya. Ibu pasti ada di kamar dan aku merasa bertanggung-jawab atas kejadian kemarin.

Kuketuk pintu kamar ibu, tapi tak ada suara terdengar. Kuputar gagang pintu itu dan kulihat sesosok perempuan paruh baya yang tak secantik bidadari lagi.

Kembali ke meja makan. Di luar gerimis mulai turun lagi. Memang sudah musimnya. Suasana jadi basah karena mataku juga telah basah. Bel berbunyi berkali-kali seraya terburu-buru meminta untuk dibukakan pintu. Sudah tidak ada lagi penjelasan yang penting dan berguna. Jadi untuk apa lagi membukakan pintu untuk tamu yang tidak tahu diri? Aku kembali menikmati roti selai nanasku.

Aku tak suka ibu jatuh cinta.

***

Gading, 2006

Google Docs & Spreadsheets -- Web word processing and spreadsheets. Edit this page (if you have permission) | Report spam