Wednesday, April 11, 2007

Corfivollus

Cerpen Wa Ode Wulan Ratna

Kakek itu menemukan gadis itu menyiratkan senyuman penuh luka. Ia membuang wajahnya yang segar itu keluar jendela. Memperhatikan setiap pepohonan yang mulai berderet jarang-jarang di sepanjang jalan dan mobil-mobil yang berlainan arah. Wajahnya seperti perdu ditumpahi hujan yang berkepanjangan dan dimekarkan oleh bunga-bunga berwarna kuning sekuning baju yang ia kenakan. Begitu dingin dan beku. Namun wajah segar putih yang memantul kekuningan itu adalah wajah yang serupa dengan suasana siang itu. Siang yang mendung dengan langit keabuan membentang tanpa jeda. Sesekali sang kakek melihat gadis itu menelan ludah saat tatapan mereka bertemu. Kakek itu tahu, gadis kuning itu menyukai bunga-bunga yang dipegangnya.

***

Minggu pagi adalah berlari baginya. Berlari ke tempat yang jauh. Dan ia tak perlu ke gereja. Ketika ia membuka jendela dan pintu rumah, tanpa menyeruput jeruk hangat yang telah disediakan bibinya, ia telah melihat pagi yang suram. Gerimis tengah turun.

"Sudahlah. Dua sakramen1 itu tak bisa ditolak!" Ia diam mendengar ucapan bibinya. Matanya tak lepas dari uap jeruk hangat dalam gelas yang mengepul dan coba menghangatkan suasana.

"Pergilah mandi, banyak yang menunggumu. Pakailah baju dengan warna sedikit cerah agar kamu kelihatan lebih berseri. Dan berdoalah di gereja." Tapi ia kemudian berlari ke arah pintu. Wajahnya dihembusi angin yang dingin. Wajahnya yang putih itu bertambah putih dan rambutnya yang sebahu mengibar. Ia menatap jemuran seprai tetangga yang tidak diangkat padahal gerimis sedang jatuh. Lalu ia memperhatikan bunga-bunga perdu berwarna kuning yang mulai kedinginan. Ia tahu bunga-bunga itu merindukan belaian.

"Diane?" perempuan separuh baya itu memanggil.

"Andaikata ayah dapat mengulangi hidupnya, tentu ia akan lebih banyak memetik bunga aster untukku hari ini."

***

Ia tidak berdandan seperti hari minggu biasanya. Ia hanya mengenakan baju princess kuning berbahu lebar dengan rok lebar sebetis berwarna putih polos dan sepatu bertali warna putih mutiara. Rambutnya yang sebahu dikuncir ekor kuda. Tak ada perhiasan sedikit pun melekat pada tubuhnya. Hanya Injil yang ia bawa. Begitu pula keadaan hari ini, tak ada tangkai-tangkai kembang baru di kamarnya. Semua layu seperti hatinya dan ia tak bisa menyalurkan perasaannya itu pada semua bentuk yang bernyawa kecuali pada hujan yang mulai menderas. Kemudian ia mendengar bibinya memanggil lagi dari bawah. Dan tanpa menutup jendela ia mengamit Injil lalu segera turun.

Sepupu laki-lakinya, Adam, dengan setelan jas hitam membuka payung berwarna hitam, merangkulnya dan membawanya ke sebuah mobil sedan hitam. Ia melihat payung hitam itu seperti berputar-putar atau mungkin sengaja diputar-putar oleh sepupunya. Kemudian ia masuk ke dalam mobil yang membawanya pada panjang perjalanan dengan pohon-pohon cemara yang berderet rapat dan tinggi. Pohon-pohon itu menutup kelapangan angkasa dan sejumlah pemandangan berkabut yang menutupi gunung-gunung, rumah-rumah, jalan-jalan, dan segala yang hijau. Tak ada suara yang keluar selain deru mobil yang halus dan meluncur lancar di tengah hujan. Di belakang, beberapa mobil serupa yang ditumpangi kakak-kakaknya membuntuti mobil yang membawanya.

"Hanya kau yang kuning, An." Ia mendengar Adam berbicara padanya dan pamannya yang duduk bersama supir mendehem. Adam memangku mantel cokelatnya. Pemuda itu tahu kapan ia mesti berkata-kata dan ia tidak mau mengganggu perasaan gadis itu.

"Ya, ibu tidak datang?" katanya kemudian.

"Ah dia, bukan ibumu, An. Nanti siang dia datang dengan anak angkatnya yang mau menikah itu." Gadis itu diam lagi. Ia tahu siang nanti Isak akan menikah di gereja yang sama. Satu hari yang aneh. Sementara ia berduka dan seorang perempuan yang pernah menjadi ibu tirinya berbahagia pada satu gereja yang sama.

"Aku hanya memakai baju hitam bila Koor." Katanya lagi pada Adam.

"Dia hanya ingin agar tidak terlihat pucat, Dam."

***

Ia berdiri pada barisan terdepan, menatap kosong pada sebuah peti yang belum di tutup. Wajah pucat namun tak menghilangkan wibawa seorang laki-laki tua yang tidur di dalamnya. Ia tahu ayahnya pergi meninggalkan bunga-bunga, meninggalkannya.

Ia tidak bernyanyi. Ia tidak berdoa. Tidak pula mendengarkan nubuatan-nubuatan2 dari alkitab perjanjian baru. Ia tidak menyilangkan tangan sebagai layaknya seorang Kristen sejati. Ia tidak mendengarkan kata-kata pendeta. Ia tidak membuka Injilnya. Ia hanya berdiri seperti semua orang berkabung yang berdiri di dalam tempat suci itu. Ia tahu, rambutnya yang dipotong pendek sebahu itu membuat ia terlihat seperti seorang gadis tanggung atau seperti tampang bidadari yang terpampang pada jendela gereja, begitu tragis dan tenang. Ia layaknya gadis kecil jemaat Antiokhia3 yang begitu lugu. Namun ia pun tahu, setiap orang di gereja ini akan memandangnya aneh pada pakaian yang ia kenakan. Tapi adakah orang yang tahu bahwa ia ingin berlari di tengah hujan pagi itu?

***

Bayangannya terbias pada jendela-jendela bergambar kristus. Roknya berkibar, melebar, dan terkesan berat seperti rok-rok yang pernah hidup pada mode-mode zaman viktorian. Ia tidak mengejar apapun, ia hanya lari dari waktu yang menyuruhnya untuk menatap kenyataan dengan lantang. Sepatunya berketeplok dengan suara yang rendah dan ringan. Siapa pun boleh menoleh ke arahnya tanpa berkata-kata. Sebab "amin" belum terucap dari bibir pendeta. Dan lagu Behind The Bright Blue Sky mendayu-dayu dari bibir para jemaat itu. Menggugah perasaan haru yang dibuat oleh hari. Apakah di luar sana langit biru membentang menawarkan harapan?

Ia seperti bidadari yang melarikan diri dari sebuah upacara pelepasan yang sakral, yang membuka pintu besar dari jati berukir yang berat dan mendapatkan angin menerpa-nerpa. Ia menuruni tangga, membiarkan rok putihnya yang lebar menyapu butiran hujan dan debu yang melekat pada tangga itu, dan berlari di tengah hujan. Ia menatap pada buket bunga-bunga ucapan belasungkawa yang berjejer rapi seperti mobil di tempat parkiran. Bunga-bunga untuk ayah. Tak ada bunga untuknya. Dan nyanyian itu…, I have my own craun….

Ia mengingat ayah. Pada pagi yang cerah, ia menemukan bunga-bunga pada vas-vas kosong dalam kamarnya. Ia mengitari kebun teh dengan kuda sepulang gereja. Mendapati banyak aroma, dan melupakan ibu. Menyuapkan sepotong roti pada bibir ayahnya seperti cara pendeta menyuapkan roti gandum padanya di hari perjamuan kudus. Mencuri shag4 ayah yang ditaruh di kotak pada laci kerjanya dan mencoba menghisap asap tembakaunya.

Ia tahu ia seperti bidadari yang melarikan diri dari waktu, yang berlari dicucuki hujan dan kehilangan sayap. Ia berlari melewati pagar, melewati kembang-kembang setaman, melewati mobil-mobil yang diparkir. Berlari menelusuri deretan jalan yang ditumbuhi cemara dan akasia. Menantang hembusan lembab suasana pada garis yang dibuat bumi, pada aroma angin tropis. Dan nyanyian itu masih terdengar menggema pada gereja itu…, there will be my heart….

Ia bayangkan ketika saat ini ia bukan lagi seorang gadis yang terluka. Ia akan seperti keturunan Belanda lainnya yang manja, seorang gadis dengan gaun putih panjang, berjalan menuju altar bersama ayah. Menggandeng tangan ayah dengan bahagia dan memegang kuntum-kuntum mawar atau aster. Wajahnya berhias dan manis menyungging senyumnya. Ia tahu, di depan bersama pendeta, Isak menunggunya. Tentu ia tak akan peduli pada hujan, juga pada ibu. Dan mama akan senang di surga sebab anak bungsunya memasuki altar tempat ia dulu pernah menyatu dengan ayah. Ia akan disucikan, dijadikan satu dalam tubuh Tuhan. Ia diberkati.

Mungkin ia tahu, ia seperti bidadari yang melarikan diri dari jaring suci laba-laba yang keluar dari gambar jendela gereja. Ia dengar lonceng gereja berdentang beberapa kali. Ia pun mendengar Adam memanggil namanya dari gerbang yang kudus itu. Namun suara samar-samar itu tahu bahwa dia harus meleburkan diri pada derasnya suara hujan. Dan nyanyian itu mulai menghilang sedikit demi sedikit ditelan jarak dan waktu…, I saw thy face fully….

***

Pada waktu itu ia tidak kepemakanaman untuk menghadiri upacara pemakaman ayahnya. Untuk melihat ayahnya yang terakhir kali. Dan Adam, sepupunya yang mengejarnya di tengah hujan, terus mencari dan bertanya pada siapa saja, tentang gadis yang diam-diam dicintainya. Ia akan bertanya pada siapa saja yang melintas pada jalan itu, "Apakah kau melihat seorang gadis dengan senyum penuh luka?" atau bila ia tak sengaja menubruk seseorang di jalan yang mengenakan payung atau jas hujan dan menyapanya dengan marah-marah, maka pemuda itu akan menguncang-guncangkan bahu orang itu sambil mengatakan, "Aku sedang mencari seseorang." Hingga hari itu adalah hari di mana ia mendapat banyak kutukan dari orang-orang yang ia tanyakan.

Ketika ia tiba pada sebuah halte bus dengan pakaian yang kuyup dan mendamparkan diri sebagai seorang yang bingung, seorang perempuan separuh baya menghampirinya dan bertanya tentang adakah yang sedang ia tunggu atau ia cari. Dan pemuda itu hanya mengatakan dengan sisa asa yang ia punya tentang seorang gadis kuning yang berlari di tengah hujan, "Ya, aku mencari seorang gadis dengan senyum penuh luka." Perempuan itu lalu menunjuk ke arah jalan yang lurus dan mengatakan gadis yang dicarinya telah berangkat bersama putranya dan beberapa penumpang yang lain dengan bus yang menuju ke arah dataran rendah.

Pemuda itu terduduk di bangku besi sambil menghembuskan nafas keras-keras. Uap putih keluar dari hidungnya serupa asap rokok. Mengepul memainkan hangat. Ia ingat ketika pagi tadi ia menjemput Diane, gadis itu tak sedikit pun menyeruput jeruk hangatnya. Bibi Gres bilang kalau ia sedang payah. Hingga akhirnya ia hanya mengetukkan jari-jarinya ke meja dan memandangi Diane. Sampai akhirnya ia menemukan sesuatu pada bola mata gadis itu.

Uap.

***

Ia mengamati orang-orang yang menaiki bus itu. Penuh, sesak. Suara ayam dan tangis balita dalam kain gendongan seorang ibu. Dus-dus berisi ikan asin atau semacamnya dan keranjang sayuran. Ia mengamati seorang perempuan sebaya mencium laki-laki yang sepertinya adalah anaknya. Anak laki-laki itu memeluknya hangat dan menyelipkan surat dan setangkai kembang jalanan yang telah lunglai. Sebuah pelukan yang hangat seperti jeruk hangat yang disuguhkan bibinya pagi tadi. Namun ia mendahului laki-laki itu menaiki bus.

Ia menaiki bus yang sumpek dan banyak di antara mereka yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Dan ia pun ikut berdiri. Matanya memperhatikan orang-orang. Orang-orang menurunkan tangkai payung dan melipatnya, menata dus-dus dan kopor-kopor tua, menurunkan rel sleting jas hujan, menaruh ayam-ayam betina putih yang kakinya diikat di bawah tempat duduk mereka, kondektur yang merokok, lelaki berkumis yang merapatkan jaket hitamnya, dan ibu yang mendiamkan anak balitanya. Beberapa dari orang-orang itu juga memperhatikannya, bajunya yang basah, roknya yang kusut dan tak lagi putih, sepatunya yang berlumpur, atau Injilnya yang lepek. Apakah mereka tahu bahwa ia habis berlari di tengah hujan pagi ini?

Tawa, mimpi, harapan, dan tangis, serta bebauan pegunungan menjadi satu dalam bus hingga seseorang menarik tangannya, dan ia tercengang melihat seorang laki-laki bertopi baret hitam di sebuah sudut terbelakang yang dekat dengan jendela menawarkan tempat duduknya. Ia mendatangi laki-laki itu, duduk, dan menebarkan senyuman. Pada segaris senyum di bibirnya itu sebenarnya membuat laki-laki itu iba, meski itu tanda terima kasih tanpa kata-kata yang diucapkannya.

Ia duduk tanpa berkata-kata, menatap keluar jendela yang terbuka dan tak dapat ditutup karena macet. Ia melepas pita ikatan rambutnya karena kini rambutnya telah sangat berantakan dan membiarkan wajah serta rambutnya disapa ujung-ujung angin yang membawa butiran hujan. Bus melintas membawanya lari dari waktu. Depus angin yang mengendus-endus membuatnya terbang seperti burung ketika hamparan pemandangan hijau dan vila-vila di atas bukit memperjelas diri mereka dari kabut-kabut yang menutupi. Pegunungan baginya tak pernah lagi punya warna dingin sebab ia telah terbiasa pada cuaca yang memain-mainkan daya tahan tubuhnya. Sesekali matanya berkedip karena kering dan menemukan Diane kecil yang berlari-lari di hamparan kebun teh ayahnya. Mendapatkan ayahnya sedang memadu kasih di istal bersama ibu. Memandangi foto-foto mama di masa lalu. Mendengarkan rekaman tawa ayah yang khas dan keras seperti layaknya seorang laki-laki berdarah Holand lainnya. Dan mendapatkan bunga-bunga misterius dari seorang pemuda bernama Isak setiap hari Jumat dan Minggu. Mendapatkan ciuman pertama dan dilukis telanjang di sebuah kamar.

Pada suatu ketika, ia pun ingat ayahnya pernah mengatakan bahwa ia tidak boleh kecewa, sebab pada saatnya nanti ia tidak perlu lagi menunggu bunga-bunga karena setiap hari akan selalu ada bunga dalam kamarnya. Bunga-bunga akan berdatangan sendiri mungkin di hari-hari menjelang pernikahannya, atau bahkan kematiannya, sebab semua orang tak akan pernah melupakan seorang gadis bernama Diane.

Ia memeluk erat Injil di dadanya seperti memeluk mantel yang tebal. Ia merindukan kehangatan-kehangatan, seperti pelukan perempuan separuh baya di halte tadi, atau jeruk hangat yang ditawarkan bibi Gres.

Waktu semakin tertinggal jauh di belakang, dan kini deras hujan menyurut, menempatkan waktu yang tidak lagi pagi. Ia berpaling dari masa lalu dan baru menyadari bahwa laki-laki yang duduk di hadapannya, yang tengah tertidur pulas, adalah laki-laki yang menyelipkan surat serta setangkai kembang pada perempuan di halte tadi. Dan laki-laki berbaret hitam yang berdiri serta memperhatikannya sedikit-sedikit adalah laki-laki yang menawarkan tempat duduknya.

Pada suasana yang mulai teduh dan tenang karena sebagian besar penumpang tertidur, kondektur mulai menagih tariff jalan. Tapi ia kembali memalingkan wajahnya keluar jendela. Ia hanya membawa Injil. Sehingga ketika tangan kondektur meminta tarif jalan padanya, ia hanya menatap kebingungan. Maka laki-laki berbaret hitam yang berdiri itu seraya tahu bahwa ia tidak membawa uang, dengan cepat ia mengeluarkan selembar uang puluhan dan berkata, "Aku dengannya." Sekali lagi ia menatap laki-laki itu dengan senyuman terima kasih pada bibirnya yang pucat biru karena dingin. Namun laki-laki itu tetap merasa bahwa senyuman itu sungguh menyakitkan.

Laki-laki itu bertanya, "Apakah kamu mau pergi ke Kota?" tapi ia tidak menjawab, karena baru kali ini ia pergi sendirian ke tempat yang jauh yang ia tidak tahu dan ia memang tak punya tujuan.

Sampai pada pemberhentian bus yang lain, ketika banyak penumpang turun dan laki-laki berbaret itu mendapatkan tempat duduk di tempat yang lain yang jauh darinya dan lebih nyaman. Meski begitu tak sedikit pun ia beranjak untuk mendapatkan tempat yang lebih baik. Sedang laki-laki yang tertidur di depannya telah terbangun dan turun untuk mencari bus lain yang sesuai dengan arah tujuannya. Kini di dalam bus beberapa tempat duduk tampak kosong.

Bajunya hampir kering dan lumpur di sepatunya telah mulai mengelupas. Sempat ia perhatikan jari-jari tangannya yang masih mengeriput ketika seorang kakek naik ke dalam bus dan hendak duduk di hadapannya. Kakek itu tampak kesulitan melipat payung hitamnya. Sebuket mawar merah bercampur aster kuning diletakan di sampingnya. Ia melipat payung hitam itu dengan tangannya yang telah keriput dan bergetar. Payung hitam yang begitu uzur dengan tangkainya yang terbuat dari besi yang tidak lagi mengilat, tetapi mulai bengkok dan berkarat. Meski begitu payung itu mengingatkannya pada payung hitam yang dibuka Adam tadi pagi, berputar-putar pada porosnya. Seperti hujan, seperti hendak menebarkan sesuatu.

Ia pun memperhatikan sandal jepit yang dipakai kakek itu yang dipenuhi oleh lumpur yang basah dan liat. Sesekali ia menatap kakek itu, menatap matanya yang kelabu dan tak lagi jernih. Menatap segala sejarah kesusahan hidupnya yang terangkum dalam matanya dan terbias pada rambutnya yang telah hampir memutih semua. Ia menelan ludah dan kembali memperhatikan buket bunga merah dan kuning itu. Sampai pada suatu saat mata mereka bertemu dan ia kembali memalingkan wajah keluar jendela. Kakek itu telah selesai melipat payungnya dan membiarkan payung itu bersender di sudut di sampingnya, hingga bulir air-air hujan dari payung itu menetes dan membuat basah lantai bus. Kakek itu mengambil buket bunganya dan dipegangnya erat-erat dengan kedua tangannya yang rapuh. Namun lelaki tua itu seakan tahu bahwa diam-diam ia tengah mencuri pandang untuk melihat bunga-bunga yang dipegangnya.

Ia mulai menerka-nerka kalau bunga-bunga itu baru saja dibelinya untuk dihadiahkan pada seorang cucu perempuannya, atau anak perempuannya yang akan menikah mungkin. Atau, ia pun mengira kakek itu baru saja mendapatkan bunga itu dari seorang sanak yang peduli sekali akan hari tuanya. Sekali lagi ia mencuri pandang pada buket dalam genggaman tangan tua itu, maka tak ada tempat ia menyembunyikan wajahnya karena sang kakek selalu memergokinya. Kakek itu melontarkan senyum padanya setiap kali tingkahnya diketahui dan ia pun hanya membalas senyum itu seperti senyuman pada laki-laki yang menawarkan tempat duduk padanya.

***

Kakek itu menemukan gadis itu menyiratkan senyuman penuh luka. Ia membuang wajahnya yang segar dan pucat itu keluar jendela. Kakek itu tahu gadis itu kedinginan, memeluk sebuah alkitab seperti memeluk sesuatu yang dapat menghantarkan rasa hangat. Gadis itu memperhatikan setiap pohon yang mulai berderet jarang-jarang seraya mengenang serentetan kenangan di sepanjang perjalanan hidupnya yang masih terlampau muda. Wajahnya seperti perdu yang ditumbuhi oleh bunga-bunga berwarna kuning sekuning baju yang ia kenakan. Namun wajah segar yang memantul kekuningan itu adalah wajah yang serupa dengan suasana siang itu. Siang yang mendung dengan langit keabuan membentang tanpa jeda dari utara ke selatan. Sesekali sang kakek melihat gadis itu menelan ludah kala tatapan mereka bertemu. Kakek itu tahu, gadis kuning itu menyukai bunga-bunga yang dipegangnya. Maka mata kelabu itu menerawang jauh menembusi waktu, menembusi senyum mungil yang terluka itu. Mengarungi masa lalu.

***

Hampir limapuluh tahun lalu ketika hujan gerimis seperti saat ini. Ia menemukan seorang gadis dengan kebaya hitam bemotif daun-daun hijau. Rambutnya rapi tersanggul dengan melati menghiasi. Ia duduk di samping dua orang teman perempuannya, memperhatikan dengan saksama lakon yang dimainkan Nurnaningsih dalam sebuah filmnya. Ketika keluar dari gedung bioskop, ia mendengar perempuan itu tertawa. Sebuah tawa khas perempuan yang benar-benar menikmati kemerdekaan. Herman, temannya, memperkenalkan ia pada ketiga perempuan itu. Dan gadis itu bernama Nina, seorang gadis sembilan belastahun, adik dari seorang teman Herman. Ada sesuatu yang dapat dilihatnya pada mata bening itu. Sebuah uap yang menghembuskan cinta pertama, sejumput senyum gadis kemayu yang manja dan baru mendapatkan bebas pada seusianya.

Nina dijemput kakak lelakinya, dan sebelum ia mengibaskan selendang hijaunya sempat keluar dari bibir manis itu bahwa minggu depan di waktu yang sama ia akan menonton lagi di bioskop itu. Sebuah bioskop dibilangan Paser Baroe.

Maka pada malam-malam yang panjang di langit musim hujan, banyak sudah puisi dan surat yang ia tulis untuk dapat melampiaskan rindu pada gadis berselendang hijau itu. Setiap ada waktu usai mengajar di SMEP5, ia pun akan menyempatkan mampir ke rumah sang gadis di bilangan Harmony. Ia akan memasuki sebuah gang kecil yang berdebu bila hari sedang tidak basah, menemukan deretan kembang-kembang asoka yang ditempeli debu, menemukan pagar kayu bercat hitam dengan rumah yang teduh lagi asri, dan menemukan seorang gadis dengan kepangan yang permai sedang duduk di beranda. Gadis itu akan terkejut, dan matanya mencerminkan senyum manisnya. Gadis itu tahu bahwa seseorang telah datang untuk mengambilnya dari taman bunga, seseorang yang kelak akan memetiknya, menikmatinya, dan layu bersamanya. Maka ia dengan malu-malu berlari ke dalam dan membiarkan kainnya terseret menyapu lantai. Ia akan berteriak, "Mas Heru di luar ada tamu. Temanmu itu, lho." Ia baru kembali apabila telah membawa sajian teh hangat atau kopi kental dengan kattetong6, kacang , atau nastar.

Nina, gadis itu, selalu mengenakan kebaya terbaiknya dari bahan brokat dengan motif yang selalu menarik. Ia akan menghias rambut dan memberi gincu pada bibirnya. Nina selalu memesona setiap kali ia mengajaknya untuk nonton di bioskop atau berjalan-jalan. Ia jadi ingat pada suatu pagi di hari minggu ketika ia mengajaknya jalan-jalan. Entahlah mungkin ke Pasar Ikan atau ke Kota, hanya hendak melihat-lihat saja, reflesing, tanpa ada tujuan yang pasti. Dan tanpa sengaja, ketika menunggu trem dan gerimis turun sementara mereka tak membawa payung, serta perbincangan mereka mulai lirih, ia mengamit tangan gadis itu, mendekapnya dalam-dalam di dadanya. Gadis itu tersenyum, dan tanpa banyak bicara mereka menaiki trem. Duduk diam-diam. Kendaraan itu seperti berjalan dengan sangat lambat dengan bunyi kleneng-klenengnya yang merdu, dan mereka seakan tak mau turun di tempat pemberhentian manapun. Menurutnya, hujan adalah anugerah yang membuatnya terdampar pada kenikmatan cinta dari seorang gadis berkepang yang memandang ke arah luar jendela dengan senyum mudanya.

Ia ingat wajah segar itu berseri berderai-derai ketika bibirnya memagutnya. Atau saat gadis itu menemukan sepucuk surat dan kembang-kembang berwarna dan beraroma pada setiap pagi beberapa kali dalam seminggu. Semua yang segar itu, semua yang indah itu, segala cinta yang mengembang itu, tak pernah layu meski telah waktunya. Segalanya berpendar-pendar bak cahaya. Mewarnai waktu demi waktu, dalam kesendirian, dalam kesepian, dalam kehampaan. Nina baginya adalah hakikat seorang perempuan yang tidak pernah merasa sepi, meski keceriaan dan senyumnya digubah waktu menjadi seorang yang sendiri. Menjadi seorang perempuan dengan senyum penuh luka setiap kali ia coba memasuki ke kedalaman matanya.

Ia ingin meletakan setangkai mawar pada kelopak mata itu. Ia ingin perempuan itu tetap tahu bahwa betapa ia tidak bisa melupakannya, bahwa ia tetap seorang laki-laki yang penuh kasih padanya seberapa adanya perempuan itu sekarang. Ia ingin menghapus senyuman luka yang pernah terukir di wajahnya, sehingga ia tak perlu mendengar lagi perempuan itu menangis tengah malam di ruang tamu dengan hanya ditemani lampu gantung yang temaram dan menatap hampa pada kembang sedap malam yang bergoyang-goyang kaku. Ia ingin mengatakan bahwa betapa bahagia hidupnya karena Tuhan mempertemukannya padanya, sekalipun ia adalah seorang perempuan yang tidak pernah diberkahi keturunan.

Sungguh saat ini ia seperti melihat segala yang telah berlalu itu. Merindukan segala yang nyaris hilang ditelan umurnya. Merindukan hangat tatapan mata atau kecupan. Atau mungkin pula hangatnya sarapan pagi yang disediakan perempuan itu. Kopi kental panas yang benar-benar masih beruap bersama pisang yang digoreng dengan sedikit tepung dan garam.

Namun ia melihat gadis kuning itu lagi, menghimpitkan wajahnya yang segar tetapi pucat di samping kaca jendela yang terbuka lebar. Sesedikit gerimis menggores pipinya. Dan garisan senyum itu mengingatkan ia garis senyum Nina pada wajah tirusnya saat berada di trem dulu, di waktu yang berbeda ketika ia mengamit tangannya dan menaruhnya rapat-rapat dalam dadanya. Ia tahu, ada sesuatu yang sedang disembunyikan, mungkin tentang luka, atau kecewa yang dibuat hidup atau laki-laki.

Ia menunduk, menatap buket mawar dan aster dalam genggamannya. Pada matanya yang kelabu itu ia merasakan hangat dan sesuatu yang berair hendak meluncur di ujung-ujungnya. Ia mengambil sapu tangan biru dari sakunya dan mengusap ujung-ujung matanya. Tanpa sengaja ia merasakan gadis dengan pakaian kuning itu memperhatikannya lagi sambil menahan senyumannya yang mengingatkan ia pada bingkai Nina yang telah berdebu. Ia membalas senyuman itu, berkali-kali setiap kali gadis itu dipergokinya tengah memperhatikannya atau memperhatikan bunga-bunga dalam genggamannya.

'Andaikata Nina dapat mengulang hidupnya, tentu aku akan memetik lebih banyak bunga-bunga untuknya hari ini, dan ia tidak perlu tersenyum seperti itu.'

Lalu ia menatap pemandangan di luar jendela, memperhatikan apa yang diperhatikan oleh bunga perdu yang sedu itu.

***

Menuju jalan yang lurus, menunjukan tiang-tiang lampu yang tinggi. Segala cekung waktu telah terlewati dan matahari mulai menguapkan sinarnya meski gerimis tipis tetap membasahi. Ketenangan dan mimpi mengambang di ujung kantuk dan helaan suasana yang mulai menghangat. Dataran rendah. Pohon-pohon yang kehilangan warna. Rumah-rumah yang bergelimpangan tak beraturan dan rapat padat. Gedung-gedung yang menjulang. Becek. Orang-orang yang sibuk. Segalanya terlihat jelas dari sebuah sudut belakang bus, tempat ia duduk berdamping dengan jendela yang tak pernah bisa ditutup. Tol yang macet di sebuah jalan fly over yang memisahkannya dengan rumah dan luka. Ia perhatikan lagi kakek itu yang terjaga dari kantuk, dan bunga-bunga yang tidak pernah layu sepanjang perjalanan waktu. Apakah kakek itu tahu bahwa ia habis berlari di tengah hujan pagi tadi?

Ia menelan ludah, tetapi kakek itu mungkin sudah jenuh untuk mempertemukan tatapannya dengan matanya.

Tiba-tiba ia sadar bahwa ia tak punya tujuan. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan ketika bus yang ia tumpangi akan menuju terminal terakhir. Apakah ia harus berlari lagi?

Sedikit disempulkan kepalanya keluar jendela, dihirupnya udara kota yang hangat. Menatap angkasa yang mulai membiru segar dan menemukan burung-burung berbaris berterbangan dengan rapi. Ia pejamkan mata. Bus keluar dari jalan tol. Namun di tengah keramaian kota yang permai itu ia temukan sedapnya bebauan kamboja. Sebuah bunga yang menyebarkan keabadian. Sebuah bunga khas yang mengingatkan ia pada ayah. Pada mama yang tertanam lebih dulu. Pada gundukan tanah merah yang basah.

Terlepas dari kemacetan lalu lintas kota, terdengar suara klakson dan ia mendengar kondektur bus itu menyebutkan nama suatu halte pemberhentian sebelum bus itu mengakhiri perjalanannya pada terminal terakhir. Segera ia melihat kakek tua itu mengambil payungnya dan bersiap hendak berdiri. Namun segala detik seperti tertunda dan gerimis tipis di luar berubah menjadi kristal. Kakek itu memperhatikannya dengan senyum…, entah mungkin seperti senyum pertama kali yang ia lontarkan pada cinta pertamanya. Namun untuk kesekian kali balasan senyumnya masih tetap sama.

"Kau mengingatkanku pada anak perempuanku yang tidak pernah aku miliki." Lelaki tua itu menatapnya. Alisnya yang kelabu merenggang saat wajah yang penuh garis keriput itu mengendur sebab sunggingan di bibirnya. Mata lelah itu menembus selaput jala di matanya. Dan ia tak ingin berpaling karena ia tertegun dan heran. Bukankah dalam perjalanan yang basah dan tenang itu mereka tak pernah berkata sepatah pun kecuali bertemu dalam tatap?

"Aku tahu, kau menyukai bunga-bunga ini," ujarnya. Suaranya yang tua itu terdengar dalam dan serak. Ia memperhatikan jakun lelaki tua itu. Kini ia tahu lelaki tua itu menelan ludah. Ia tahu ada sesuatu yang tersangkut di sana.

"Dan aku rasa istriku menghendaki kau memilikinya. Aku akan memberitahu dia bahwa aku memberikan bunga-bunga ini padamu." Ia tersenyum untuk yang terakhir kali dan memberikan buket yang semerbak itu padanya. Gadis itu dengan heran tak menolak. Ia menerima pemberian tulus itu dengan hati yang penuh rona. Sesaat kemudian setelah mata kelabu itu berpaling, ia melihat sepasang kaki bersandal jepit teplek beralaskan lumpur yang telah mengering dan mengelupas. Kaki. Langkah kaki laki-laki tua itu turun dari bus dan berjalan memasuki pintu gerbang sebuah pekuburan kecil.

***

Pada sebuah halte tak seberapa jauh dari gereja yang memiliki lonceng di atas menaranya, seorang pemuda masih duduk di bangku besi. Hujan tak kunjung reda. Sedang hari menjelang sore. Dan ia tak peduli pada sebuah acara pemakaman atau pernikahan, meski banyak orang yang mencarinya atau membujuknya untuk kembali. Tidakkah mereka lihat bahwa matahari pun tengah sesegukan?

Seberapa lama ia menunggu?

Halte yang dingin dan mulai kehilangan penggemar. Gadis kuning dan hujan. Matanya menghangat. Nafasnya beruap. Uap seperti jeruk hangat pagi tadi. Menatap mata seorang gadis pucat dan disela-sela itu ia menemukan sebuah senyuman yang membuat hatinya terluka. Apakah semua orang tahu ia sedang menunggu? Apakah semua orang tahu bahwa ia sedang mencari seorang gadis dengan senyum penuh luka yang berlari di tengah hujan pagi tadi?

***

Aku.

Baru pertama kali aku menjumpai kesejatian yang begitu aneh dalam satu waktu. Ketika aku memperhatikan dan berdecap kagum pada sketsa untitled dan beragam nude7 yang dilukiskan Isak untukku. Lukisan-lukisan aku yang telanjang di kamar, di tengah kebun teh, di tengah hujan, di hamparan perdu, dan berbaring manja pada bunga-bunga berwarna merah, kuning, ungu, putih, dan nila. Bukankah sekarang aku menerima bunga dari seseorang yang sama sekali tak kukenal? Bukan ayah, bukan Isak, bukan bibi Gres, bukan Adam, bukan kakak-kakakku, bukan siapa pun juga. Hanya seorang lelaki tua yang tidak mengerti Injil, hanya seorang lelaki tua yang sungguh memiliki sejarah yang berbeda dan tak ada sanggut pautnya dalam hidupku.

Dan kamboja-kamboja itu mengingatkan aku untuk kembali pada waktu. Untuk kembali berlari.

Aku menatap kondektur itu. Aku tak ingin turun pada terminal terakhir. Namun kakiku terpatri dan mataku menjatuhkan air mata pada kelopak-kelopak segar dalam genggamanku.

Aku.

Untuk pertama kalinya aku mengeluarkan air mata di hari ini. Ketika sedikitpun aku tidak menyentuh jeruk hangat buatan bibi Gres, atau saat aku berlari keluar gereja tanpa mengucapkan kata "amin" dan tersenyum pada pendeta. Ketika aku tak mengeluarkan suara untuk bernyanyi Behind The Bright Blue Sky dan tak menaruh harapan pada langit biru di luar sana. Atau tak berdoa. Dan bahkan aku tak peduli pada peringatan kristus untuk diam di tempat saat gema lonceng berdentang melawan deras suara hujan. Aku hanya ingin berlari di tengah hujan. Menuruni tangga saat lonceng berdentang tanpa meninggalkan suatu jejak seperti yang dilakukan Cinderella. Aku pun tak mau mendengar teriakan Adam memanggil namaku di depan gerbang, dan meski ia takut jasnya basah ia ternyata lebih takut tak menemukanku. Namun kini, jarak membuatku ingin kembali berlari.

Apakah kondektur itu bingung dengan tatapanku?

"Aku turun!" pintaku.

"Nanti, sebentar lagi, di depan."

"Aku ingin turun!" kataku lagi.

"Di sini tidak boleh menurunkan penumpang."

"Tapi aku ingin turun di sini!" teriakku.

***

Suatu saat di senja hari. Semua orang akan melihat seorang gadis kuning dengan senyuman penuh luka dan sebuket bunga serta Injil di tangannya berlari kembali ke dataran tinggi. Melewati jalan tol fly over. Melewati kendaraan-kendaraan dan deretan pepohonan. Menembus rintik hujan. Bila ia lelah, ia akan berhenti, dan bila bertemu seseorang ia akan mengatakan bahwa ia telah menikah siang tadi di sebuah bus. Ia akan memperlihatkan bunga-bunga itu sebagai tanda pernikahannya.

Ia pun tahu untuk apa bunga-bunga itu akhirnya. Ia akan berhenti berlari pada terminal terakhir, yaitu sebuah pemakaman. Di sana ia akan bercerita pada sebuah nisan putih dengan tanah merah yang masih basah dan segar,

"Ayah, aku telah menikah hari ini. Sayang ayah tak bisa mendampingiku. Tapi ayah tak perlu mengulangi hidup, sebab aku akan mengirimkan lebih banyak bunga setiap kali aku mampir di sini."

***

Gading basah, Mon 070305 at 23.29
Teruntuk sutradaraku: Fadli

Catatan:

Corfivollus: sejenis bunga perdu

Sakramen : acara ibadah yang bersifat khusus dalam agama Kristen Protestan di antaranya penyerahan anak, babtisan air, perjamuan kudus, pernikahan, dan kematian (upacara pelepasan).

Nubuatan : firman Tuhan dalam alkitab

Antiokhia : nama jemaat pertama pengikut Kristus di Antiokhia

Shag : rokok cerutu khas Belanda

SMEP : Sekolah Menengah Ekonomi Pertama

Kattetong : dari bahasa Belanda, merupakan kue kering yang biasa disebut Lidah Kucing

Nude : lukisan perempuan telanjang

Perempuan yang Kencing di Semak

Cerpan Wa Ode Wulan Ratna

Aku ingin jadi daun, jadi ranting, jadi embun dan angin. Sekadar menyadap bau-bau rerumputan siangik, paku rangsang, dan ilalang menguning. Mengukuhkan pohon-pohon sialang, sikaduduk, kempas, rumbai dan batang-batang sungkai.

Dini menyedapkan langkahnya, melompati lumpur, becek, lalu hilang dibalik semak belukar, di antara pepohonan hutan yang mulai meradang. Diam-diam aku mengikutinya dari belakang. Aku tahu perempuan berkerudung kuning itu hendak menggunduli hutan dengan caranya. Mengangkat kainnya tinggi-tinggi hingga betisnya yang putih lencir itu mengangai alam.

“Oi, aku kehilangan pohon-pohon itu.” Diam-diam kudengar ia mengumpat. Umpatan perempuan yang kadang-kadang terdengar seperti ngengat. Aku terjongkok diam di antara pepohonan liar yang bersisa. Dari sana aku mengintip ia berjongkok, mengangkat kainnya tinggi-tinggi hingga aku dapat melihat paha dan selangkangannya seperti menjelajah hutan baru. Aku menelan ludah.

“Hoi, setan! Tauke sialan!” teriaknya, sebongkah batu nyaris mengenai wajahku. Dengan perasaan naas dan gemas aku lari tunggang langgang.

***

Suatu malam aku pernah melihat Dini membawa pelita teding ke dalam hutan yang setengah basah. Bukan untuk membakar tanah kami sendiri, tapi untuk kembali ke semak. Ya, biasanya kembali ke semak selain untuk mengambil wudhu di kali.

Malam-malam itu memang sepi, tapi terdengar ramai sekali. Setiap malam di kampung kami memang seperti itu. Sebuah dunia baru yang seperti alam gaib tengah didirikan. Kampung yang lelap, tapi di tengah sana, belantara yang mulai keropos dan semak-semak yang menyimpan kelamin-kelamin untuk menuntaskan hajatnya, akan terdengar suara kepulan, kayu-kayu terpangkas, dan pohon jatuh tiba-tiba.

Pinggang yang masih kecil itu dengan perut yang mulai membuntal. Andai benih itu milikku, tentu sudi sekali aku mencari pekerjaan lain yang halal untuk membuatnya subur seperti hutan sediakala.

“Ju, kau habis dari mana?” Monda datang tanpa kusangka-sangka. Aku menghapus peluh dari keningku. Ia menawarkan rokok, aku langsung mengamit satu di bibir. Ia tersenyum dan mematikkan api untukku.

“Jangan kau bilang kalau kau habis mengintip perempuan itu lagi,” ia menahan tawa. Sedang mengejekku.

“Pah, bukan urusanmulah itu. Pernah kau lihat perempuan lain selain ibumu kencing di semak-semak?” Monda tertawa.

“Nanti dulu,”

“Ya, tapi ibuku punya jamban di rumah. Tidak tinggal di rumah lanting untuk bernaung.”

“Ah, kau tidak mengerti bagaimana seninya perempuan kencing di alam terbuka.” Kataku sedikit kesal. Monda mulai menahan-nahan tawanya.

“Sudah dapat berapa pohon?” tanyaku selanjutnya hendak melupakan perempuan pias itu.

“Sudah tujuh yang tertebang.”

“Yang besar-besar?”

Ada tiga yang masih di bawah umur. Tapi Mad Nawar marah-marah. Katanya masih terlalu sedikit dan harganya akan tidak sesuai. Kita butuh pohon-pohon yang segar seperti sialang dan rotan.”

“Lebih banyak lagi?”

“Ya, semakin banyak semakin baik. Kita bisa mendapat keuntungan yang lebih besar.” Aku mengendus, menghembuskan asap tembakau itu jauh-jauh. Memperhatikan asap itu menguap bersama embun sebab sinar matahari jadi begitu tajam ketika ia semakin meninggi.

“Di mana kira-kira lokasi yang banyak pohon-pohon itu?” aku menatap Monda rapat-rapat. Ia sedikit tertegun dan mungkin hidungnya mampat lagi. Ya, hidungnya memang mampat sebelah, dan ia selalu kesulitan untuk bernafas. Oleh sebab itu orang-orang yang melihatnya pasti menyangka ia bernafas dengan mulut. Mulutnya selalu terbuka, sebab selain mengeluarkan asap rokok juga mungkin ada udara sisa.

“Aku sudah dua hari memantaunya. Tidak jauh dari sini.”

“Apa? Keluar dari wilayah ini?” aku nyaris memekik. “Jangan gila, kita tak punya surat izin. Kau mau tertangkap basah?”

“Sabar, Raju.”

“Sabar? Aku sebenarnya sudah mulai muak untuk menambah daftar kejahatan lagi dalam hidupku. Jangan suruh aku membuat surat izin palsu.” Hatiku bergemuruh, tiba-tiba pikiranku kembali pada emakku.

“Lho, tentu tidak perlu. Sudah ada para tauke yang mengepul kayu hampir setiap malam di sana. Kita juga harus bersaing.”

“Di mana?” tanyaku akhirnya dengan nada datar dan tak memolesinya dengan ekspresi apa-apa. Tangan Monda mengarah ke arah timur, tempat biasa matahari memaksa ngengat bangun untuk menghilangkan malam-malam jahat.

Di timur itu sebenarnya aku ingin mengepul sinar matahari yang pecah-pecah. Memungutinya dan menaruhnya dalam karung goni. Sebab sinarnya yang menyengat itu mendapat restu rerimbun untuk meneduhkan, meski ada beberapa yang tanggal dan mulai meradang. Ya, di timur itu sebenarnya aku ingin menjelajah hutan yang lain. Memang bukan yang perawan tapi begitu rawan.

Ah, hutan itu Monda? Di situlah tempat biasa aku mengintip seorang perempuan muda tengah mengencingi tanahnya sendiri.

***

Aku ingat perempuan tua yang menjadi emakku itu. Di depan jendela ia menjungulkan kepalanya. Menatap bintang yang semakin kelihatan sebab lahan langit semakin meluas tak tertutup pohon-pohon yang mulai jarang.

“Kita mendurhakai tanah kita sendiri, nak. Menjadi pencuri di rumah sendiri.” Matanya sabak karena menangis.

“Tak sudi aku melihat kau bekerja seperti itu. Bukankah lebih baik kita jual saja rumah ini untuk biaya hidup, untuk adik-adikmu yang kadung tumbuh?”

“Jangan, mak. Kita tak punya apa-apa lagi. Aku berjanji bila telah selesai proyek ini, aku akan mencari pekerjaan yang lebih baik. Kalau perlu aku akan ke kota.”

“Kita sudah makan uang haram. Kau taruh di mana harga dirimu?”

“Mak, tapi kita juga harus segera melansai hutang-hutang Abah. Mak tak kasihan pada Abah. Sudah dua bulan meninggalkan kita tapi tak juga sepeser pun hutangnya terbayar.” Mak diam, ia bersama seguknya.

“Sudahlah, Mak. Hanya sebentar saja. Ngapa mak macam ‘tu?” perempuan itu berbalik. Menghapus derai di pipinya dan mencoba tersenyum. Ada sontil di sela giginya. Aku dapat melihatnya dengan jelas, sebab hanya itulah yang jelas dari sosok tua dan rapuh itu.

“Raju, kau anak lelakiku tertua. Pengganti Abah. Apakah kau masih ingat bagaimana Abah mati, nak?” aku menelan ludah. Itulah peristiwa pilu yang melantak hatiku. Aku malu terhadap perempuan itu.

“Ya, Abah mati tertiban pohon.”

***

Senja kesumba, Monda belum datang. Mungkin ia memanggil pengepul-pengepul lain. Orang-orang kepercayaan Mad Nawar.

Duh, mahakekasih telah usai kau melegam di bawah payung mentari. tidakkah kau rasakan kita telah mengabu karena teriknya? Alamak, masih ada bias saga di kedua pipi Dini.

Perempuan itu dengan langkah lihai keluar dari petak ladangnya. Ia menelusuri sejarah rumput hitam yang melumpurkan ketelanjangan telapak kaki kecilnya. Diturunkannya topi purun usai ia menguak huma di belantara padangnya. Menyeka bulir keringat seperti menyeka air mata. Aku menggeleng-geleng. Betapa sempurnanya ia menjadi perempuan yang berdiri di antara kekotoran-kekotoran hidup dan tanahnya.

Aku melambai ke arahnya. Ia tersenyum dan melambaikan topi purunnya. Satu tangannya menenteng rantang kecil. Ia pun menghampiriku.

“Bagaimana, Din hari ini?” tanyaku ketika ia mendekat.

“Wah, seperti biasa. Melelahkan.” Ia memberikan rantangnya kepadaku.

“Apa isinya?” tanyaku.

“Nasi berlauk belacan, sambal tokok, dan ikan bilis.” Ia tersenyum masih berdiri menatapku yang segera bangkit dari tersadai ketika melihat kakinya keluar dari semak itu.

“Bang Raju menunggu siapa?”

“Mm.., teman. Tapi sebentar lagi datang.”

“Dini dengar Abang mau ke kota?”

“Ya, rencananya. Kota selalu menjanjikan pekerjaan yang lebih baik.” Aku menatapnya, ia membetulkan kerudung kuningnya yang pudar.

“Hutan semakin tidak aman ya, Bang? Banyak sekali tauke. Siang-siang pun mereka berani terang-terangan. Tak cukuplah sumpah seranah bagi mereka itu. Perbuatan-perbuatan laknat yang tak terampuni!” Dini memandang hutan. Matanya buntang menerawang dan aku hanya bisa tertunduk. Malu pada diriku sendiri.

“Din, sepertinya aku tidak pulang malam ini. Bawalah kembali rantangmu. Rumahku terlalu jauh.”

“Abang menolaknya?” aku tahu ia sedikit kecewa. Tapi aku tahu ia akan lebih kecewa bila mengetahui siapa si pengintip itu dan siapa salah satu tauke itu.

“Maafkan aku, Din. Tapi tak mungkin kau mengantarnya ke rumahku.”

“Ini oleh-oleh buat emakmu. Aku yang buat sendiri.”

“Sudahlah, Din. Tak baik kalau kau terus-terus seperti ini. Kau sudah bersuami. Di dalam tubuhmu tengah tumbuh tubuh baru.” Aku melihat perutnya.

“Oh Tuhan, dinalah perempuan ini! Abang tahu kan, di bukit Samyong sudut Batam, suamiku tengah memenuhi nafsu tauke dari Singapura? Dia tak tahu aku tengah berbadan. Tak pulang-pulang.” Ia mengambil rantangnya dan bergegas pergi tanpa mengurai panjang kata permisi untukku.

Aku menggigit bibir bawahku, tanganku merongoh saku celana dan menemukan sebatang rokok. Kucium bau tembakaunya di bawah senja yang mulai luntur, memperhatikan langkah lincah perempuan berkain itu.

Suasana sesedap kenanga ini sebenarnya ingin kukirim bersama senja semerah dadamu, Dini. Duh perempuan yang memenuhi tanahnya dengan air seninya.

Hasrat yang satu itu, membuang air sisa lewat saluran kelamin adalah seni terindah yang pernah dimiliki anjing. Hewan itu membatasi wilayahnya, panggungnya, kekuasaannya dengan mengencingi tiap sudut tanahnya. Memberi batasan-batasan kalau di wilayah itulah ia meraja dan tak boleh ada yang menjamahnya. Kita menirunya, tapi kini kita jauh lebih beradab. Orang bilang itu beradab. Tapi kau, perempuan yang kencing di semak dalam belantara itu, adalah mengencingi tanah-tanah leluhur yang lelah dalam daki tahun-tahun. Zaman yang lintang pukang, hutan yang meradang, pohon-pohon yang hendak melolong tumbang. Air kencingmu merimbunkannya kembali. Mengembalikan semua unsur-unsur hara yang hilang itu. Menguatkan hati akar-akar yang mulai mati.

Aku kembali tersadai. Memainkan asap tembakau hingga akhirnya mataku rejam karena pelupuk yang kian memberat.

“Aku pergi.”

“Raju, temani Abahmu!” Aku ingat Mak masih di dapur. Hanya suaranya saja yang terdengar. Aku bergegas keluar, menemani Abah. Jalan-jalan sepi melenggang. Matahari baru naik seujung daun puring. Kami berjalan jauh melintasi hutan-hutan. Rimbun tanpa lelah bersama derai tawa, kata-kata yang kulupa itu apa. Tapi kami tampak bahagia.

Matahari masuk lewat celah-celah pepohonan mempelam, macang, dan rambai. Burung Cancibau telah lama bangkit memulai kicau. Tapi tiba-tiba kulihat di sana, tidak terlalu jauh, ada Monda dan Mad Nawar, atau mungkin juga aku, sungguh transparan membiarkan pikiran-pikiran telanjang.

Aku berhenti melangkah. Samar kudengar suara mereka. Ternyata di belakang mereka ada berpuluh-puluh pengepul kayu lainnya. Aku menganga.

“Monda, cepat regas pohon itu. Kita butuh pohon sialang lebih banyak.” Kulihat Monda mengarahkan mesin penebang pohon. Mesin itu begitu menderu hingga linu seluruh gigiku. Tapi teriakan Mad Nawar memberi aba-aba pada semua semakin parau. Seperti bukan suaranya.

“Raju, kenapa berdiri di situ. Cepat bantu!”

“Apa?” aku masih dalam keadaan bingung.

“Cepat ke sini!” Mad Nawar memelototiku. Tiba-tiba kurasakan bumi bergetar. Monda terus meregas pohon itu hingga lingkar hidup pohon itu hendak menemui ajalnya.

“Tapi Abah….”

Tass….

Pohon itu rubuh dengan bunyi yang bergemuruh. Ada suara jerit yang tercekat dan kemudian kutemukan jiwa terbujur rapat. Lekat memeluk sebatang pohon sialang.

“Abah?”

“Ju, bangun. Tak baik magrib-magrib tidur.” Perlahan kubuka mataku, kesadaranku naik ketika jelas kulihat Monda di depanku.

“Peralatan telah kusiapkan semuanya. Tengah malam rencananya. Aku sudah memberi tanda pohon-pohon yang kita butuhkan.” Aku diam saja. Monda menggesek-gesekan kedua tangannya.

“Hei, kenapa?” Monda menyenggol pundakku.

“Kau lama sekali.” Dia terkekeh-kekeh.

“Aku orang rajin, memberikan tanda pada pohon-pohon itu. Dan kau, kau kuberi kesempatan untuk mengintip lagi.” Aku tersungging. Ia memberikanku senter.

“Ayo, kutunjukan pohon-pohon itu agar kita tak salah tebang.” Aku pun berdiri dari tempat peristirahatan itu, balai kecil tempat persinggahan orang-orang lelah usai dari ladang. Aku pun pergi mengikuti jejak Monda dengan bisik-bisiknya.

***

Perjalanan malamhampir nokturno. Mungkin di rumah-rumah sana, nyanyian pedodoi lelap telah usai dikumandangkan. Laki perempuan hangat di ranjang berahi dan anak-anak nyenyak terbuai mimpi. Hanya mungkin yang tua-tua masih rajin mengaji.

Dalam kelam itu, aku masih bisa melihat gigi Monda akibat sunggingan puasnya. Beberapa pohon telah tumbang. Ia terus bisik-bisik, sesekali karena tak tahan ia nyaris berteriak. Memaki para budak itu untuk segera melanjutkan pekerjaan.

“Ju, sekarang giliranmu.” Ia menyerahkan alat pemotong pohon itu. Tak ada yang sanggup membendung suara mesin itu. Aku diam terpaku memegang alat itu.

“Monda, aku tak bisa.” Kataku perlahan. Tak tahu, tiba-tiba saja kuteringat mimpi tentang Abah yang tertiban pohon sore tadi. Aku merasa benar-benar berdosa.

“Apa?” kata Monda heran.

“Aku tak bisa.” Aku mengulanginya dengan sedikit keras.

“Mengapa?”

“Aku tak bisa!” aku nyaris berteriak. Kurasakan uap yang keluar dari hidungku begitu hangat. Aku tak tahu mengapa aku jadi ingin marah dan begitu emosi. Kurasakan tengkuk dan punggungku berkeringat.

“Raju, kau kenapa? Sakit?”

“Tidak. Bukan. Aku sudah tak mau. Aku lelah dengan ini semua. Aku lelah. Ini aneh. Tidakkah kau tahu hutan ini juga tanah kita? Tempat kita mengambil buahnya, menginjaknya dan mengencinginya?” aku tahu Monda tak suka kata-kataku. “O, jadi kau juga mau mengencinginya?” Ia menyindir sarkas. Aku tahu matanya geram menatapku, ia mungkin juga marah.

“Kalau kau tak mau. Biar aku saja. Aku tak mau tengkar denganmu. Kuberitahu, pasti Mad Nawar akan segera memecatmu. Dasar orang yang anti kemapanan!” ia mengambil mesin itu dari tanganku. Mesin yang berat itu.

Aku diam memperhatikannya yang dengan serius membiarkan mesin itu menggerogoti batang pohon yang malang itu.

Aku lunglai. Ingat hutang-hutang Abah dan emak. Tanganku gemetar mengambil mesin yang dipegang Monda. Mesin itu menggerutu, bunyinya semakin seret karena terlalu berat. Bukan mesin baru memang. Di siang hari aku dapat melihat mesin itu uzur dilumur karat.

“Ya, begitulah. Kau harus tahu hidup ini susah dan memang banyak yang perlu dilanggar.” Akhirnya Monda memberikan sepenuhnya mesin itu padaku. Tentu dengan begitu ia tak akan melapor yang macam-macam pada Mad Nawar perihal tingkahku barusan.

Tubuh batang pohon itu mengeluarkan perih, mengeluarkan serpih batang-batangnya yang pipih. Aku dapat mendengar lolongannya sebelum ia tumbang. Ia sekarat. Dan aku tak tahu bagaimana rasanya disayat seperti itu. Air mataku mengalir. Bukankah ini malam? Malam selalu menyembunyikan banyak hal.

Pandanganku kabur, sekelebat rupa-rupa menggelantung di butiran hangat itu. Abah, emak, dan Dini.

Tiba-tiba kakiku kembali gemetar, bunyi gemuruh pohon yang mulai jatuh. Ya, seperti mimpiku sore tadi. Aku lihat orang-orang yang sama kecuali Mad Nawar dan Abah, sedang melakukan kegiatan yang sama seperti yang aku lakukan.

Pohon itu mulai condong, sedikit demi sedikit jatuh. Dan tass…. Ia jatuh di arah yang tak kentara. Utara, selatan, timur, atau barat aku tak tahu. Bunyinya berdebum. Apakah ada yang tercekat? Aku tak tahu tapi hatiku begitu pilu. Aku telah membunuh. Aku telah membunuh daun, ranting, embun, dan angin. Aku telah membunuh kekasihku sendiri.

***

Pohon-pohon telah meninggalkan getah dalam keadaan kering. Daun-daun hijau telah dijemput kematian. Tiba-tiba diam mengejang. Segala kesunyian aneh yang tengah pingsan di belantara gundul mulai sadar ketika azan subuh melebuh, membukakan jalan. Gelap tinggal seperempat, dan kasak kusuk ramai itu pun mulai terdengar.

“Astaga!!! Ada yang mati, Bang.” Seru seorang pengepul kepada Monda.

“Apa? Maksudmu hewan?” tanyanya kembali masih sambil membereskan perkakasnya.

“Bukan. Bukan hewan. Manusia. Perempuan.” Mendengar itu darahku tersirap. Naik hingga keubun-ubun. Punggungku terasa terbakar.

“Coba kalau bicara yang jelas?” Monda menahan panik. Tapi perasaanku tak karuan rasanya.

“Itu Bang. Coba Abang lihat sendiri. Ada perempuan tertimpa pohon.” Tanpa ragu lagi aku buru-buru berlari ke arah yang ditunjukan pengepul itu. Yang lain turut pula menyusulku.

Ada perempuan nokturia yang selalu masuk ke dalam hutannya untuk menandai wilayahnya, setiap malam. Itu sudah menjadi dongeng bagiku dan aku mempercayainya. Dongeng yang kubuat sendiri untuk kemudian di suatu malam aku melupakannya. Aku tak sengaja melupakannya.

“Monda! Kau gila! Ini Dini.” Jantungku berdegupan dengan gilanya. Kini malam usai dan tak ada lagi yang bisa disembunyikan dari mataku dan hatiku.

“Aku tidak tahu kalau ada perempuan di sini.”

“Ini bukan pohon yang aku tebang semalam.”

“Ya, aku juga.”

“Apa-apaan kalian. Cepat bantu angkat pohon ini!” Monda gusar. Ia tahu perasaanku, tapi aku tahu ia merasa tak bersalah.

Oh aku lupa Dini, aku lupa. Inilah wilayahmu yang kau kencingi setiap pagi dan malam, yang seharusnya tak boleh dijamah oleh siapapun.

Tanganku bergetar menyentuh pipinya. Begitu dingin, begitu dingin hingga kutahu pasti ia dapat membekukan maniku yang telah lama menjadi lahar karena hasrat cinta yang terpendam. Tapi ia beku. Kain yang terangkat tinggi itu memperlihatkan hutannya yang rimbun. Hutan rupawan yang rawan, yang dirindui setiap lelaki.

Bukan. Bukan air kencing yang kutemukan di selangkangan itu. Tapi darah kering yang masih segar dan menggumpal. Darah tunas kehidupan yang nyaris tiga bulan bersemayam dalam lindungan kandungnya.

Kurasakan tangan Monda mencengkram pundakku, tapi aku sudah mati rasa. Air mataku sudah ke mana-mana. Ke mana-mana, aku tak tahu ke mana. Aku hanya ingin berlari di hutan ini. Menyusuri matahari dan memunguti sinarnya yang pecah berkecai-kecai di antara pepohonan yang masih bersisa itu. Menaruhnya dalam karung goni.

Aku mengerang. Aku ingin menjadi daun, menjadi ranting, menjadi embun, dan angin. Menulisi matahari agar dapat terus mengintip seorang perempuan yang kencing di semak itu.

***

Pekanbaru-Jakarta
April 2006

Untuk Raju

Catatan :

Tauke: pencuri atau penebang kayu hutan diam-diam pada malam hari.

Pelita teding: lampu yang terbuat dari kaleng susu bekas. Biasanya bersumbu kain dan di atasnya ada tameng yang dipasang sebelah saja untuk melindungi dari lambaian angin.

Rumah lanting : rumah yang sangat sederhana.

Melansai: melunasi hutang-hutang.

Ngapa: mengapa.

Sontil: tembakau yang menempel di antara gigi dan bibir dari seseorang yang makan sirih.

Topi purun: topi besar yang terbuat dari anyaman kulit kayu yang biasa digunakan petani untuk berladang atau berhuma.

Tersadai: terbaring dengan kaki terbujur.

Buntang: membeliak.

Lintang pukang : berlari dengan cepat, tunggang langgang.

Rejam: terpejam atau pejam.

regas/meregas : memotong

Melebuh: membukakan jalan.

Berkecai-kecai : berantakan, terpecah-pecah.

Nokturia: keadaan suka atau sering kencing pada malam hari.

Selembar Bulu Mata Elena

Cerpen Wa Ode Wulan Ratna

Suasana senja yang basah memberikan aroma tersendiri pada sebuah café. Elena menghirup aroma kopinya, sedang aku sibuk memperhatikan bulu matanya yang menari-nari bila ia mengedipkan kelopak matanya. Ia mengangkat cangkir putih yang masih mengepul itu jauh-jauh dari hidung dan bibirnya ketika tiba-tiba aku melihat sesuatu menempel di bibir merahnya.

“Ada sesuatu di bibirmu.” Elena menaruh cangkir kopinya di pinggir piring brownies kenari kesukaannya lalu mengambil tisu. “Jangan! Maaf, biar aku saja.” Aku menawarkan diri. Ia membiarkan aku mengambil selembar bulu matanya yang terjatuh di bibir merahnya. “Astaga, bulu mata?” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya hingga rambutnya yang secuping bergoyang-goyang. Namun kembali dihirupnya aroma kopi robustanya seakan ia hanya pura-pura terkejut saja barusan. Aku mempelintir selembar bulu mata itu dengan ibu jari dan jari telunjukku. Kuperhatikan selembar bulu matanya yang menawan itu. Panjang, hitam, dan tebal. Bentuknya seperti lengkungan bulan sabit di pertengahan bulan.

“Kira-kira bulu mata yang mana, ya?” Elena membuang tatapan matanya keluar jendela. Kedua kelopak mata itu tak berkedip menatap kaca jendela yang telah basah oleh rintikan hujan yang kian deras. Sebuah suasana kota yang becek dan macet di luar sana mewarnai sore yang basah. Dari dalam café ini, kota itu tampak beruap.

Aku terus memperhatikan bulu-bulu mata Elena. Matanya masih menatap keluar jendela di sampingnya. Namun kutemukan ada sebuah negeri yang disembunyikan oleh pemilik bulu mata itu. Aku tahu ia memikirkan hal yang lain.

Tapi tiba-tiba kedua kelopak mata itu berkedip sekali. Membuatku sadar untuk segera mengalihkan pandanganku ke lain tempat, pada cangkir putih kopinya yang kini telah ternoda. Lipstik.

“Iya, ya. Yang kanan atau yang kiri?” Kataku akhirnya balik bertanya sambil mengeluarkan buku pocket berwarna hijau dari saku celanaku.

“Katanya kalau bulu mata kanan yang jatuh berarti ada yang cinta atau kangen,” ia tersenyum lalu bertopang dagu memperhatikanku. Aku jadi sedikit salah tingkah. “Nah, kalau yang kiri….” Ia tidak melanjutkan tapi mengambil sebatang rokok dan mengamitnya di bibir. Aku mematikkan api untuknya.

“Kalau yang kiri?” tanyaku menyambung. Ia menggeleng-geleng lalu melepaskan kepulan asap rokok ke udara. Aku lihat asap itu seperti membangun suatu pondasi. “Ya, sebaliknya.” Jawabnya singkat.

“Itu kan hanya mitos.”

“Lho, tidak percaya? Dunia ini kan sudah rancu. Kita perlu keyakinan baru selain kenyataan. Kita perlu jadi seperti kodok di got sana. Nyanyi-nyanyi saat hujan, nyaplok nyamuk di waktu malam, bermetamorfosis. Ya, hidup di dua alam. Percaya pada yang nampak juga pada penampakan.” Elena menghisap lagi rokoknya dalam-dalam. Sementara aku berusaha bangkit dari keterpukauanku pada negeri bulu matanya.

“Kenapa mesti kodok?”

“Karena kodok hidup di dua alam. Begitu pun dengan kita, seharusnya hidup di dua alam; ya malam, ya siang. Yang nyata maupun yang tidak. Paling tidak kita harus bisa menyeimbangkan.” Aku mengernyitkan kening. Biar bagaimana pun jawaban Elena, ucapannya selalu memesona.

“Ah, tapi aku keberatan kalau harus menjadi kodok.”

“Ya, terserah.” Ia angkat bahu.

“Sudah seharusnya kita kembali pada mitos. Ah, bagaimana Tuhan ini. Menciptakan manusia dengan rasio, sedang Dia sendiri irasional.” Kami bertatapan mengulum senyum. Dan sambil menikmati tatapan serta senyumnya itu kubuka buku pocket hijauku dan di halaman yang bertuliskan “Elena di Hari Hujan”, kutaruh selembar bulu matanya itu sebagai pembatas buku.

“Ah Elena, sudahlah! Kita tidak tahu itu kiri atau kanan. Bukankah itu hanyalah selembar bulu mata yang tepat jatuh di bibir merahmu?” aku menepis asap rokok yang dihembuskannya di hadapanku, ia tersenyum. Dan dari bibir merah itu keluar ucapan, “Itu tugasmulah!” Ia kembali menatap keluar jendela.

Gumpalan asap rokoknya menghambur lagi di hadapanku. Asap itu menggumpal tebal seperti awan hingga mengingatkanku pada cerita tentang negeri di awan. Maka dengan segera kubangun sebuah negeri dari kepulan asap itu sebelum ia menguap tanpa jejak. Sebuah negeri tentang selembar bulu mata Elena.

***

Buku hijau. Sebenarnya telah banyak buku catatan harian yang telah katam kutulis dengan berbagai jadwal, curahan hati, atau sekadar uneg-uneg. Dan setiap buku selalu memiliki pembatas buku.

Pertama kali aku mengenal pembatas buku adalah ketika aku menginjak masa puber. Aku selalu percaya rautan pensil berwarna yang disimpan beraneka warna sebagai pembatas buku akan menjadi pelangi saat hujan selesai. Dan ternyata itu benar terjadi. Lalu ketika aku memiliki buku catatan berikutnya, aku menaruh bulu ayam sebagai pembatas buku. Setiap hari bulu ayam itu akan bertambah dengan sendirinya namun dengan warna yang berbeda. Dan suatu malam ketika buku catatanku telah penuh, aku melihat kupu-kupu keluar dari buku catatanku dan berterbangan di kamarku. Kamarku jadi penuh oleh kupu-kupu. Indah, berjuta warnanya. Kupu-kupu malam.

Pernah pula aku menjadikan potongan-potongan kuku jariku sebagai pembatas buku catatanku. Dan aku selalu tahu bintang di langit akan bertambah satu setiap ada lima buah potongan kuku di halaman catatanku. Lalu kini apa gerangan yang akan hadir bila aku menjadikan selembar bulu mata Elena sebagai pembatas buku catatanku?

***

Waktu itu musim nyekar. Hingga banyak kembang berhamburan dan aroma wangi bunga memenuhi paru-paru. Perempuan bergaun hitam dan berkerudung hitam itu mengangkat kepalanya dari gundukan tanah yang masih merah. Di belakangnya berdiri pohon kamboja memadu putih. Tangannya memegang setangkai mawar merah yang mulai layu. Tak ada siapa-siapa di sisinya, hanya sebuah batu nisan putih mengukirkan nama sang terkasih. Wajahnya pucat, mungkin tak dibubuhi bedak. Mungkin juga telah luntur oleh keringat dan air mata. Namun bibirnya masih semerah buah apel. Aku tak tahu kenapa tiba-tiba ia menatapku. Matanya yang berhias smoky eyes itu seperti menghipnotisku karena sungguh aku tak bisa beranjak dari makam tempat ayahku terlelap. Yah, dan ketika kelopak mata itu berkedip, maskara hitam itu luntur oleh air matanya. Lalu ia roboh seketika.

Ketika ia siuman berkatalah ia padaku, “Oh, kamu orang itu? Yang di situ? Yang menolong aku? Terima kasih.”

“Ya, sama-sama. Siapa yang meninggal?”

“Suamiku. Hanya suamiku yang kucintai, selebihnya aku hanya ingin dicintai.” Ia memejamkan mata. Bulu mata lentik itu basah.

“Ya. Siapa namamu? Biar kuantar pulang.”

Sejak itu aku mengenal seorang perempuan bernama Elena.

***

Sore ini senja basah lagi. Warnanya jadi pudar dan buram, tapi Café tetap tampak ramai dan hangat. Canda, tawa, kepulan asap rokok, musik, kopi mewarnai ruangan. Aku menulis kata ‘kiri’ di halaman kanan buku catatan hijauku. Ah, aku selalu ingat kata-kata Elena. Bukankah sudah menjadi tugasku mencari tahu kanan atau kirikah bulu matanya yang aku dapatkan di bibir merahnya kemarin? Dan aku tidak heran, hari ini aku mendapatkan selembar bulu matanya lagi. Yah, selembar bulu mata Elena menjadi dua.

Tiba-tiba kulihat dari arah pintu masuk sesosok perempuan bertubuh langsing dengan pakaian yang menarik datang menghampiriku. Aku tersenyum menyambutnya dan mempersilahkannya duduk.

“Lama menunggu?” tanyanya, aku menggeleng. Elena tampak segar. Ia selalu tampak lebih cantik di sore hari. Ia segera memanggil waitress dan memesan secangkir kopi jenis robusta dan brownies kenari kesukaannya.

“Bagaimana kabarmu?” sapaku.

“Baik. Tapi aku mungkin sedikit lelah karena terlalu giat bekerja.” Kuperhatikan wajahnya yang berseri itu. Di manakah letak kelelahan itu?

“Lelah?Memangnya kamu kerja apa sih?” tanyaku sedikit berani tapi sebenarnya aku tak berniat apa-apa.

“Ah, sudahlah! Tidak penting. Pekerjaanku sama saja seperti dulu.” Lagi-lagi ia tersenyum, ia selalu tersenyum menggoda. Aku angkat bahu. Beberapa saat kemudian setelah kami bercakap mengenai hujan dan senja, pesanannya datang. Akhirnya kami pun mulai melesapi rasa di lidah. Rasanya aneh memang, mengecap rasa manis di depan seorang perempuan sepertinya bagai mendapatkan rasa manis yang tidak dijual di mana pun.

Sambil menghirup, mengecap, dan mereguk, kuperhatikan kelopak mata itu dan sesekali pula menanggapi ucapannya. Ia mengatakan kalau ia baru ke salon untuk mengkriting bulu matanya. Di salon Anu sedang ada potongan harga katanya. Ia juga mengatakan kalau ia tidak suka menggunakan bulu mata palsu. Menurutnya itu norak dan akan membuat matanya iritasi. Berbicara tentang mata, mengingatkan aku pada sosok Elena saat pertama kali aku mengenalnya. Ya, dalam bingkai bulu mata itu, tiba-tiba aku melihat sebuah nisan putih terpantul pada bola matanya.

“Elena, boleh aku tanya sesuatu?” ia tidak menyahut, tapi ekspresinya membolehkan aku untuk bertanya apa saja.

“Dari suamimu dulu kamu punya anak?”

“Tidak, aku mandul.”

“Apa?”

“Aku mandul.” Ia mengulangi.

“Oh, maaf.” Ia hanya menggeleng. Apakah ia bercanda?

“Oleh sebab aku mandul, aku hanya mencintai suamiku. Yang lain tidak.”

“Apa?”

“Ya, yang lain tidak. Tidak ada yang mencintaiku seperti almarhum suamiku. Dia mengambilku dari comberan, dari got-got di luar sana saat hujan pada malam yang dingin. Dan dia mencintaiku sepenuh hati lebih dari sekadar membutuhkan rahimku. Dia memberiku arti apa itu hangat dan menjadi baik.”

“O…, tap….”

“Aku senang menjadi temanmu, Jo. Aku janji tak akan mempermainkanmu, meski aku hanya ingin dicintai.” Ia tersenyum dan menatap ke kaca jendela. Sekali lagi aku memperhatikan kelopak mata yang sesekali berkedip itu. Bulu matanya lentik membingkai matanya yang berkaca-kaca.

“Elena, boleh aku mengatakan sesuatu?”

“Boleh.”

“Aku suka bulu matamu.”

***

Setiap hari. Setelah aku menemuinya saat itu dan menuliskan kata ‘kiri’ pada halaman kanan buku catatanku. Setelah aku menuliskan tema besar hari itu “Bulu Mata Elena,” bulu mata Elena di catatan harianku selalu bertambah satu setiap harinya. Aku semakin gandrung. Setiap halaman kiri buku itu selalu bertuliskan kanan, begitu pula sebaliknya. Aku ingin cepat-cepat tahu selembar bulu matanya yang dulu jatuh di bibir merahnya itu yang kanan atau yang kiri. Bukankah aku penggemar sejati yang butuh kepastian untuk menjadi suami pengganti?

Anehnya, hampir setiap malam aku selalu menemui sosok-sosok Elena di berbagai tempat. Di restoran Itali, di hotel berbintang, di tempat parkiran, di dalam lif apatemenku, bahkan di taman. Namun ia tidak pernah menegurku. Elena bermetamorfosis. Yah, bermetamorfosis di waktu malam. Suatu saat ia menjadi berudu, kemudian menjadi kecebong yang bermain-main di dalam air. Lalu tiba-tiba di suatu malam pekat ketika hujan mengguyur, aku mendengar suara kodok nyanyi-nyanyi di sebelah kamar apartemenku. Aku tidak yakin itu Elena, sebab rasanya janggal, di kamar yang steril dan nyaman, ada nyamuk yang bebas berkeliaran.

***

Sore ini ketika kami berjanji lagi bertemu di café yang sama. Duduk, menikmati secangkir kopi, dan mengobrol, Elena hadir lagi dengan wajah segar. Dan matanya berhias smoky eyes seperti dipemakaman waktu itu. Matanya jadi terkesan begitu hitam dan tajam. Namun ada sesuatu yang dalam di sana.

“Akhir-akhir ini mataku gatal.” Katanya. Ia menyelipkan rambutnya yang bergoyang-goyang ke kupingnya agar tidak mengganggu.

“Coba kulihat!” aku menawarkan diri. Ia menyodorkan tubuhnya kehadapanku hingga aku dapat melihat jelas ke kejernihan matanya. Ia berkedip-kedip.

“Apa yang kamu lihat?”

“Bukan apa-apa. Bulu matamu terlalu panjang dan lebat.”

“Oh ya? Jadi mungkin harus aku pangkas sedikit ujungnya biar tidak membuat mataku gatal-gatal.”

“Lho, aku tidak tahu. Rasanya akibat gatal-gatal bukan karena bulu matamu.”

“Ya. Mungkin aku salah pakai maskara. Mungkin seharusnya aku ke salon saja untuk ikut paket bulu.” Kami tertawa. Hari ini ia tampak begitu riang dan senang bergurau.

Maka ketika malam merayap dan kami berpisah, aku segera masuk ke kamar apartemenku dan menuliskan beberapa kata di halaman kanan buku catatanku. “Kiri. Aku jatuh cinta pada bulu matamu.”

***

Begitulah setiap saat. Bulu mata Elena semakin bertambah setiap hari. Dan aku semakin bahagia serta penasaran. Buku catatan hijauku sudah hampir penuh walau hanya berisi tulisan kanan dan kiri juga kalimat-kalimat pendek. Namun Elena semakin sulit saja ditemui. Mungkin ia terlampau sibuk dengan pekerjaannya, aku tak cukup berani menghubunginya. Pernah suatu siang aku meneleponnya, tetapi jawaban diseberang sungguh mengecewakan: ‘mohon tinggalkan pesan, nyonya sedang istirahat.’ Elena masih tidur.

Dan semua kisah itu? Benarkah itu Elena? Sesosok Elena yang kutemui di birunya malam. Bermetamorfosis. Apakah Elena serupa apa yang ia katakan? Kodok.

Tapi aku selalu menepis prasangkaku. Aku tahu perempuan itu hanya ingin dicintai.

***

“Kamu baik, Jo.” Elena menghembuskan asap rokoknya. Ia menyilangkan kaki. Tubuhnya yang langsing dibaluti rok span dan jaket hitam.

“Apa kamu suka memuji?” lanjutnya. Ia mendelik menatap penuh selidik, tapi bibir merahnya menyala, tersenyum menggoda.

“Ah tidak. Memang kamu cantik dengan potongan rambut seperti itu.” Ia tertawa. Ditaruhnya rokoknya di asbak dan ia duduk dengan tegap sambil menata rambutnya. “Seperti ini?” ia tersenyum dan ia benar-benar menawan. Aku hanya mengangguk-angguk.

“Tadinya rambutku panjang, lho. Dan memang aku identik dengan rambut panjang.”

“Lalu kenapa dipotong?”

“Biasa. Aku ada masalah dengan rambut.”

“Rontok?” ia menggeleng.

“Bukan. Bukannya aku tidak pernah pergi ke salon, shampo seperti tak ada yang cocok. Tapi kamu pasti tertawa kalau aku beri tahu.”

“Oh ya? Apa itu?”

“Ketombe.” Katanya setengah berbisik. Lalu kami tertawa. Ngobrol. Ngobrol. Ngobrol. Sore selalu tampak lebih indah bila mengobrol dengan Elena.

“Oh ya Elena. Matamu masih gatal?”

“Mm….” Ia hanya menjawab dengan gumaman.

“Hanya sedikit.” Katanya kemudian. Aku memperhatikan kelopak matanya.

“Boleh tanya satu hal?” tanyaku. Ia mengangguk.

“Apakah kulit bulu mata bisa ketombean?”

“Apa?”

“Maaf, maksudku ada sesuatu di bulu matamu?”

“Yang mana? Kanan atau kiri?”

“Dua-duanya.”

“Astaga….” Dia mengambil tisu di samping cangkir kopinya.

“Jangan, biar aku saja!” Aku mengambil beberapa serbuk putih yang melekat di bulu matanya dan memperlihatkan padanya. Dia menghisap lagi rokoknya seraya tidak peduli. “Aku sudah konsultasi ke salon. Maskara yang lama aku ganti dengan maskara bening. Ah, mungkin maskara murahan hingga bila sudah kering dia malah memutih seperti ketombe.” Aku melipat tanganku dan bersandar di kursi. Memperhatikannya.

“Kau tahu Elena, ketombe dapat menyebabkan rontok.” Kataku menggoda sambil menahan senyumku.

“Ah, kamu mengejekku.” Ia tersipu. Segera setelah itu ia berpaling ke kaca jendela. Merokok, menghembuskan asap rokoknya. Sebuah negeri tentang bulu matanya mengepul ke atas lalu lenyap tanpa bekas.

***

Semakin hari aku semakin gelisah, semakin penasaran, semakin bahagia. Dan tentu saja aku semakin jarang bertemu dengan Elena. Kiri kanan, kanan kiri, bulu matanya yang indah itu semakin bertambah. Akan jadi apakah pembatas bukuku itu kelak? Hatiku terus saja bertanya-tanya. Jawaban apa yang akan aku dapat? Tidak mesti harus sampai halaman akhir. Yang penting adalah jawaban. Tapi tugasku adalah: yang kanan atau yang kiri. Kanan artinya cinta, sedang kiri sebaliknya.

Rasanya aku tidak peduli lagi. Aku harus mengatakan kegelisahanku ini pada Elena. Kulipat koran sore itu. Sebenarnya aku pun tidak membacanya karena pikiranku selalu melayang pada perempuan yang memiliki bulu mata di catatanku itu.

Aku tersenyum ke arah datangnya Elena.

“Sore ini hujan lagi.” Katanya lalu duduk di hadapanku. “Memang sudah musimnya.” Sahutku.

“Ya, semuanya jadi basah dan dingin.” Ia tampak kesal karena baju merahnya basah terkena hujan. Waitress mengantarkan kopi dan cemilan favoritnya.

“Jadi semua orang butuh kehangatan, kan?” Aku menggoda. Ia melirikku datar.

“Akan banyak kodok di luar sana.” Aku tertawa mendengar jawabannya. Ia menghirup aroma kopinya. Aku selalu suka karakter bicaranya.

“Kamu suka kopi jenis robusta?”

“Ya, jenis ini baik untuk kita yang suka bekerja keras. Kadar kafeinnya tinggi, cocok untukku. Kamu?”

“Teh dengan sedikit creamer sudah membawa suasana nikmat. Kopi dan rokok, kamu selalu tampak segar dengan itu.”

“Ya, orang yang kerja malam memang butuh tenaga ekstra.”

“Memangnya apa kerjamu?”

“Ah, kamu tanya itu terus. Nanti juga kamu akan tahu.” Ia memandang ke kaca jendela yang berembun. Aku memperhatikan kelopak matanya. Kali ini kelopak itu tak berkedip sama sekali. Tiba-tiba aku melihat selembar bulu mata Elena terlepas dari kelopaknya.

“Elena, lihat aku sebentar!” ia memalingkan wajahnya ke arahku.

“Bulu matamu jatuh.” Aku mengambil sehelai bulu mata kanannya yang jatuh.

“Yang kanan.” Kataku. Ia tersenyum bahagia.

“Ada yang mencintaiku, Jo.” Katanya setengah berbisik. Namun bulu mata kanan Elena terus berjatuhan. Aku tercengang. Begitu banyakkah yang mencintai Elena?

“Elena, bulu matamu rontok!” kataku pelan karena terkejut.

“Astaga! Aku sudah mengkritingnya di salon, mengganti maskara, merawatnya…. Tapi kenapa….”

“Biar aku….”

“Ah, jangan!” Katanya sedikit terpekik menepis tanganku sambil memegangi mata kanannya.

“Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi, Jo.” Ia mengambil tasnya seraya hendak bergegas.

“Lho kenapa? Tunggu, kamu mau ke mana? Di luar hujan Elena.” Tapi Elena bangkit. Ia menutupi wajahnya. Walau begitu dapat kutangkap pancaran matanya bahwa ia hendak menangis.

“Elena aku tidak keberatan kalau….”

“Cukup! Bilang saja kamu ingin tidur denganku, kan? Aku benci! Kamu telah mengkhianati aku, Jo.” Teriaknya. Spontan saja semua orang yang ada di ruangan ini memandang kami.

“A…apa? tidur?….” Tapi Elena telah menghilang di balik hujan. Tak ada yang tersisa kecuali noda lipstik di cangkir kopinya dan serpihan-serpihan bulu matanya.

***

Berminggu-minggu aku mencari perempuan pemilik selembar bulu mata itu. Tapi tak kutemukan. Sedang semakin maju hari, hujan semakin menjadi. Apalagi perasaan penasaran dan gelisah ini. Elena tak bisa dihubungi, teleponnya tulalit, handphonenya tidak aktif. Dan setiap sore aku selalu ke café, menyediakan waktu duduk dan membaca koran sambil menunggu barang kali Elena mampir. Tapi rasanya sia-sia saja. Sudah begitu aku seperti sah mendapat predikat baru: orang dungu yang menunggu. Hingga akhirnya kala sore yang basah tak ketulungan itu, tiba-tiba orang-orang di dalam café menatap penasaran ke kaca jendela. Mata mereka menerawang menembusi kaca dan gerik mereka mengisyaratkan rasa penasaran. Aku jadi ikutan penasaran. Kututup koran sore itu dan bertanya pada seorang lelaki yang lewat di depanku.

“Di luar ada apa ya, Pak?”

“Ada perempuan gila telanjang hujan-hujanan. Setiap orang lewat ditanya.”

“Ditanya? Memangnya dia mencari sesuatu?”

“Namanya juga gila, nyari kok bulu mata.” Tanpa banyak pikir lagi aku langsung melesat keluar. Dan aku tidak peduli kalau aku harus basah-basahan. Bukankah Elena membutuhkan bulu mata?

Perempuan itu mendekatiku. Ia telanjang di tengah hujan. Aku dapat melihat dadanya yang sebesar tomat. Aku pun dapat melihat kelaminnya mengeluarkan nanah. Matanya cekung dan hitam di sekelilingnya, seperti hiasan smoky eyes walau kutahu ia tidak sedang berhias. Mata itu menatapku kosong, tak berkedip, dan tak kutemukan selembar bulu mata pun di kedua kelopaknya.

“Jo, aku tak bisa tidur. Aku kehilangan bulu mataku. Bukankah kamu masih menyimpan selembar bulu mataku waktu itu?” aku hanya mengangguk tak tega. Elena tampak berubah, ia begitu pucat dan mengkhawatirkan.

“Kamu butuh bulu mata yang mana, yang kanan atau yang kiri?” tanyaku bingung karena merasa asing berhadapan dengan Elena yang tidak berbulu mata. Aku meronggoh kantung celanaku mengeluarkan buku pocket hijauku.

“Dua-duanya.”

“Tapi aku tidak tahu ini kanan atau kiri. Bukankah ini hanyalah selembar bulu mata yang tepat jatuh di bibir merahmu?” Hanya bibir itu yang masih merah, pikirku.

“Tidak masalah.” Katanya lemah. Kelopak mata indah itu telah botak, aku membatin. Tapi mengapa ia tidak berinisiatif menggunakan bulu mata palsu saja meski aku tahu bulu mata-bulu mata palsu itu tidak akan pernah sebanding dengan keindahan bulu mata aslinya. Apakah di saat seperti ini ia masih berpikir bulu mata palsu itu norak?

“Tapi untunglah Elena, selembar bulu matamu telah menjadi banyak. Kamu bisa menyambungnya untuk kedua kelopak matamu di salon.” Kataku senang seraya memberi semangat padanya. Elena hanya mengangguk.

“Tapi tunggu dulu, ke mana saja kamu selama ini? Aku kangen sekali padamu.”

“Kangen?” ia tersenyum. Mungkin ia masih percaya pada mitos selembar bulu mata itu.

“Aku sakit, jadi harus berobat.”

“Apa? Sakit apa?” ia tidak menyahut, tapi nanah yang menetes sederas hujan dari kelaminnya telah menjelaskannya. Namun ia tidak menghiraukan keterkejutanku, kedua tangannya menadah, meminta bulu matanya. Kami sadar, kami sama-sama basah. Mandi basah. Orang-orang mungkin melihat kami seperti orang gila. Padahal kami sama saja dengan mereka, manusia-manusia dengan beragam identitas, manusia-manusia yang mungkin punya lebih dari satu identitas. Sama-sama bermetamorfosis untuk menjadi sempurna.

Aku membuka halaman yang hampir akhir dari buku catatanku. Ternyata catatanku berakhir di halaman kiri yang bertuliskan kanan.

“Elena, aku tahu jawabannya. Ini bulu mata kananmu.”

“Jadi kamu percaya mitos, kan?”

“Bukankah kamu pernah bilang kita kodok?”

“Tidak. Hanya aku yang kodok. Jo, terima kasih telah kangen padaku, tapi aku hanya ingin dicintai.” Elena mengambil bulu-bulu matanya dan memasangkannya langsung pada kedua kelopak matanya. Sungguh, untuk yang satu itu ia tidak membutuhkan jasa salon. Bibir merahnya tersenyum dan ia beranjak lurus sambil melambai. Aku hanya terbengong-bengong saja. Tapi ternyata aku salah lihat, jelasnya Elena tidak berjalan selurus manusia. Ia bermetamorfosis. Ia melompat-lompat seperti kodok. Ya, ia tiba-tiba menjadi kodok.

Maka ketika aku masuk ke kamar apartemenku dalam keadaan kuyup, aku langsung menuliskan tema besar pada halaman kiri bertuliskan kanan di buku catatanku: ”Selembar Bulu Mata Elena Menjadi Kodok.”

***

Gading basah, 9 April 2006
Kado untuk Bang Rois dan Heru

Google Docs & Spreadsheets -- Web word processing and spreadsheets. Edit this page (if you have permission) | Report spam